Tuesday, December 1, 2009

Ijtihad: Menuju Kemaslahatan Manusia

Judul Buku: Dari Syariat Menuju Maqashid Syariat; Fundamentalisme, Seksualitas, dan kesehatan Reproduksi
Penulis: Lily Zakiyah Munir, dkk.
Editor: Zuhairi Misrawi.
Penerbit: KIKJ dengan Ford Foundation, Jakarta.
Cetakan: pertama, Agustus 2003.
Jumlah halaman: xii+166

Buku mini ini adalah hasil pemikiran keroyokan dari 4 penulis yang concern terhadap Islam yang sedang berhadapan dengan dinamika kehidupan yang terus menerus menuntut setiap orang bertahan dalam kerasnya kehidupan. Sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin sudah seharusnya Islam yang sholih likulli zaman wa makan mampu menjawab dan mengurai kusutnya tantangan anak zaman. Tema yang disorot buku ini adalah fenomena fundamentalisme, seksualitas, dan kesehatan reproduksi. Bukan menafikan hal-hal yang lain, tetapi 3 hal ini telah berkembang secara sporadis dengan berat sebelah. Dalam kacamata buku ini, pemahaman muslimin tentang 3 isu tadi keluar dari jalur kemaslahatan dan kemanusiaan.

Fundamentalisme adalah wajah putus asa muslimin dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi akut yang terus menggerus nilai, norma, dan aturan yang selama ini membentuk dinding yang kuat dalam jati diri manusia. Tak pelak, pertarungan antara Islam vis a vis barat tak terelakkan lagi. Barat yang kebudayaan dan peradabannya "mencontek" dari Islam, jauh meninggalkan Islam yang stagnan. Sementara gempuran kapitalisme dan matrealisme yang ikut datang bersamaan dengan barat bagai gelombang raksasa yang melarutkan siapa saja.

Maka agama sebagai korpus tertutup, berada dalam pucuk menara gading yang tak tersentuh (untouchable), mempunyai fungsi defensif sekaligus ofensif terhadap hal baru yang datang dari luar. Fundamentalisme inilah yang lahir dari rahim ketidakmampuan agama dalam menyikapi tuntutan zaman. Lalu semua solusi harus dicarikan hujjah dari teks agama, pemikiran kaum ini menjadi kian sempit dan dangkal. Fundamentalisme menginginkan pertahanan yang kuat dari muslimin sendiri, sekaligus sebagai alat penantang dan senjata yang diharapkan mampu mengobrak-abrik semua hal baru yang sesat.

Penulis menyimpulkan 3 akibat buruk dari pemikiran sempit yang muncul dari tempurung fundamentalisme:
1. Munculnya klaim kebenaran
2. Munculnya monopoli tafsir
3. Munculnya kekerasan dengan mengatasnamakan agama

Stagnansi Islam juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Islam rentan terhadap gempuran dari luar. Ulama dan cerdik cendekia masih saja berpikiran kuno dengan merujuk semua hal baru ke literatur-literatur klasik. Dr. Abid al-Jabiri menyebutnya kecenderungan melihat masa kini dengan kacamata masa lalu (al-fahmu al-turats lil 'ashr). Metode klasik inilah yang membuat muslimin terkungkung dalam legenda masa lalu yang konon dalam masa kejayaannya pernah merajai dunia. Masa kejayaan yang bagaimana dan kapankah itu? Entah kita tak pernah mengetahuinya secara pasti.

Lalu dalam masalah fiqh, al-Syatibi dalam fiqh maqashidnya menghendaki agar ushul fiqh diwacanakan kembali. Ushul fiqh bersifat qath'i dan fiqh bersifat hipotesa (dzanni). Nah, ushul fiqh diharapkan bertujuan demi kemaslahatan manusia dan nilai-nilai kemajuan manusia. Bukankan agama kita adalah rahmat bagi seluruh alam? Manusia sebagi subjek, menentukan garis hidupnya sendiri, bukan dengan fatwa-fatwa yang menyudutkan kearifan Islam dan menepikan kemaslahatan manusia.

Dr. Ali Jum'ah, Jamaluddin 'Athiyah (Mesir), Yusuf al-Qaradlowi (Qatar), Dr. Abid al-Jabiri (Maroko) sepakat bahwa syariat Islam sejatinya dipahami sebagai sekumpulan nilai yang memberikan perhatian bagi masalah-masalah kemanusiaan, demi kemaslahatan.

Sementara itu Imam al-Suyuthi membagi kemaslahatan menjadi 3:
1. Kemaslahatan primer (dloruri)
Yakni kemaslahatan yang menjadi acuan utama bagi implementasi syariat; penyeimbang dan mediasi antara kecenderungan duniawi dan ukhrowi. Kemaslahatan primer ini terimplementasikan dalam ushul khomsah: hifdzu al-din, hifdzu al-nafs, hifdzu al-'aql, hifdzu al-nasl, dan hifdzu al-mal.
2. Kemaslahatan sekunder (al-hajiyat)
Ini adalah kemaslahatan yang menduduki hirarki kedua setelah kemaslahatan primer, contoh mudahnya adalah rukhsah dan al-mukhaffafah dalam beribadah.
3. Kemaslahatan suplementer (al-tahsiniyat)
Contoh riil dari kemaslahatan suplementer adalah ajaran untuk berhias, beretika, bantuan kemanusiaan, dll.

Dalam pembaruan fiqh, penulis mendapati setidaknya ada 3 level yang harus dilewati secara bertahap:
1. Level metodologis.
Yang perlu dilakukan dalam proses progresifitas fiqh: al-muhafadzotu 'alal qodim al-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah. Kemaslahatan bagi manusia mutlak hukumnya. Jika kemaslahatan itu ada pada hal yang telah mapan, maka hal itu tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sedangkan hal baru yang diterima adalah hal baru yang mendatangkan kemaslahatan lebih bagi manusia. Yang ada hanyalah kebaikan sebagaimana yang telah berjalan, atau lebih baik.
2. Level etis
Dari level etis ini, yang diharapkan adalah meletakkan fiqh sebagai etika sosial. Selama ini kondisi sosial yang kasat mata adalah derajat sosial manusia ditimbang dari kepemilikan material, jabatan, popularitas, dan hal lain yang tidak bersifat esensial. Kondisi inilah yang perlu dilawan, dan Islam harusnya lebih percaya diri menghadapi kondisi ini dan memberi solusi yang bermanfaat bagi semesta alam.
3. Level filosofis
Pada tahap lanjutan ini, fiqh perlu terbuka terhadap filsafat dan aliran-aliran kontemporer. Diharapkan fiqh dapat terbuka dan berdialektika dengan segala macam pemikiran, entah itu dari agama lain atau atheis, maupun dari rasionalistik dan penganut kepercayaan lain.

Begitupun interpretasi kita terhadap teks agama yang menjadi pedoman semua muslim. Tafsir dan ilmunya mendapat tantangan serius dari barat yang berwujud hermeneutika. Tafsir: proses dialektika antara mufassir, al-Quran, dan realitas mufassir yang terus berubah, yaitu konteks, latar belakang, dan tujuan mufassir.

Penulis merangkum ada 2 wacana utama hermeneutika:
1. Wacana hermeneutika teoritis.
Wacana hermeneutika yang mengandaikan adanya adanya makna objektif/makna yang dimaksudkan pengarang teks. Tujuannya: bagaimana mencari metode agar mufassir terhindar dari salah paham dan mampu menangkap makna teks yang objektif dan valid. Caranya: menggunakan sumber ekstra teks (extrinsic evidence), atau membandingkan dengan teks-teks lain yang serupa dari pengarang yang sama, atau dari pengarang lain. Contohnya: 'Aisyah Abdurrahman bintu Syati', Fazlurrahman.
2. Wacana hermeneutika filosofis.
Wacana hermeneutika yang mengandaikan adanya makna objektif teks, karena itu penafsiran. Proses reproduksi nakna baru. Netralitas mufassir adalah mustahil, yang mungkin dilakukan adalah peleburan cakrawala makna teks dan prapaham penafsir (the fusion of horizons atau the fusion of proper text), berupa persepsi, keadaaan, dan latar belakang mufassir.

Maka dari semua sisi itu, aksi untuk menangkap dimensi kemaslahatan dalam Islam harus segera dilaksanakan. Minimal 3 cara berikut ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu:
1. Keterbukaan dalam membaca dan memahami teks
2. Menempatkan manusia sebagai subjek atas teks
3. Memberikan perhatian terhadap persoalan kemanusiaan

Bagi sebuah buku mini, pembahasan yang berat ini seperti 'cerpen.' Bagaimanapun, usaha 4 penulis yang saling bekerja-sama dalam merumuskan kemaslahatan bagi manusia yang didasari dengan teks al-Quran, pegangan hidup muslimin di seluruh alam. Buku mini ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya, patut diapresiasi semua kalangan. Usaha para penulis adalah memberi rangsangan bagi para pembaca untuk mengembangkan upaya kemaslahatan bagi manusia. Ijtihad adalah benar, dan ber-ittiba' pun dibenarkan. Yang perlu dibenahi adalah sikap saling menyalahkan, dan berpikiran kolot dengan pakem adat, bukan dengan dasar agama. Sampai saat ini, dalam beragama, apakah Anda bisa membedakan ajaran agama dan adat-istiadat?

Read More..