Friday, November 9, 2007

Jangan hadapi perbedaan dengan kekerasan!

BHINNEKA tunggal Ika, meskipun berbeda tetapi tetap satu juga. Sebuah ungkapan yang merdu didengar, dan yang selama ini dikultuskan sebagai ungkapan yang merefleksikan betapa indahnya persatuan dan kesatuan di Bumi Persada ini. Itu juga sebuah ungkapan yang selama ini diagung-agungkan sebagai testament sebuah kultur yang menghargai diversitas selaku konstituen dalam persatuan dan kesatuan.

Begitu dikultuskannya ungkapan itu oleh bangsa kita, sampai-sampai ungkapan tersebut dimeteraikan di lambang negara kita. Ungkapan itu kira-kira setara dengan "In God We Trust"-nya Amerika Serikat atau "God Save the Queen"-nya Britania Raya.
Nampaknya kekeramatan Bhinneka Tunggal Ika sekarang mulai memudar. Berbeda ya tetap berbeda. Bisa bersatu kalau sama. Nampaknya karus ada keseragaman harmoni dalam bermasyarakat. Toleransi, sopan santun, ramah-tamah yang selama ini disematkan kepada kita sebagai bangsa timur sudah lenyap. Jika mau dikatakan dengan kasar: kita sedang menuju era barbarianisme.

Kekerasan sudah begitu menghegemoni masyarakat dan terkadang dipilih sebagai salah satu solusi penyelesaian masalah. Pengikut aliran sesat Majlis Taklim Nurul Yakin di Pakuhaji, Tangerang diserang warga (5 November 2007). Rumah milik Juwata dirusak dan dibakar massa hingga rata dengan tanah. Menghadapi kesesatan dengan kekerasan, pola penyelesaian yang disulut emosi yang dangkal. Tak ada dialog ataupun kompromi, tiba-tiba saja diserang secara kolektif. Warga meyakini majlis taklim ini sudah menyimpang dari ajaran agama yang haq. Padahal Juwata sebelumnya sudah menyatakan akan menutup dan menghentikan kegiatan jamaah tersebut dan akan kembali pada Islam yang sebenarnya. Ketua MUI Kabupaten Tangerang KH Turmudzi menjelaskan, ajaran kelompok Juwata memang kebanyakan tidak berdasar Alquran dan hadis nabi. Misalnya, tentang kewajiban para calon pengikut aliran tersebut berpuasa 27 hari dan membaca syahadat ulang sebelum bergabung. Selain itu, selama menjalankan puasa, calon pengikutnya yang suami-istri dilarang berhubungan badan meskipun malam hari. "Juwata juga menafsirkan Alquran berdasar kemauannya sendiri," jelasnya. Hal ini sudah dikategorikan MUI sebagai perilaku sesat. (Lihat 10 kriteria sesat menurut MUI berdasarkan Rakernas MUI 2007)

Sebelum kasus Juwata dan alirannya, kita masih menyimpan ingatan Lia Eden/Jamaah Salamullah, sholat dwi bahasa di Malang, NII Kw9 di Jawa Barat, dan al-Qiyadah baru-baru ini. Anggota aliran-aliran itu seringkali mendapatkan terror berupa ancaman dan kekerasan dari warga.


Bagaimanapun, kekerasan tidak dapat dilegalkan sebagai jalan keluar dari “perbedaan yang tidak dapat diterima publik”. Bukankah Negara kita menganut azas Pancasila yang benar-benar mencerminkan masyarakat ideal, dambaan seluruh umat manusia di muka bumi, menganut sistem demokrasi yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dan menjunjung tinggi nila-nilai ketimuran sebagai identitas bangsa yang bermoral. Kita bukanlah bangsa predator atau kanibal yang hobi “memangsa manusia”, jangan sampai diri kita terjajah oleh ego. Orang yang dikuasai emosi dan ego tidak akan pernah menghasilkan apapun kecuali kehancuran dirinya sendiri. Setidaknya itulah yang dimaksudkan Nietzsche dengan teori manusia unggul-nya, harus bisa melampaui egonya sendiri.


Seharusnya kita mengadakan evaluasi atas pendekatan-pendekatan yang digunakan para tokoh masyarakat dalam menyikapi perbedaan. Metode yang peling efektif adalah dengan metode dakwah guna meluruskan perilaku etika sosial bangsa. Sebagimana telah diajarkan oleh Islam, dakwah bilhikmah. Dan hendaknya para ulama mengevaluasi, agar dakwah yang dilakukan benar-benar efektif dalam menghadapi kelompok-kelompok sempalan, dengan bersifat toleran, dan tidak destruktif, atau malah memberikan informasi yang salah kepada masyarakat. Informasi yang salah dapat menyulut mass deconstruction terhadap kelompok minor yang dianggap sesat.


Wakil Presiden RI Jusuf Kalla meminta masyarakat dan aparat keamanan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengatasi kelompok-kelompok aliran sesat ini, karena tidak akan menyelesaikan masalah. ''Kuno, kalau sedikit-sedikit main bakar, lemparin orang. Kecuali dakwahnya sudah berubah menjadi dakwah api dan batu. Kalau caranya main bakar, preman pun bisa,'' ujar Kalla di depan para ulama. Senada dengan Kalla, Menteri Agama Maftuh Basyuni meminta para pemuka agama dan tokoh masyarakat tidak bertindak destruktif dalam menyikapi perkembangan aliran sesat. "Penggunaan kekerasan atau anarki tidak menyelesaikan masalah, justru akan menambah genting suasana. Toh, aparat sudah menangkap tokoh-tokohnya," papar mantan duta besar RI untuk Arab Saudi itu. Maka, jangan merasa diri kita adalah hakim yang menghalalkan tindak kekerasan menjadi solusi atas permasalahan. Walau bagaimanapun, kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.

*Diterbitkan di Buletin Prestasi KSW, November 2007

Read More..