Tuesday, March 31, 2009

Menyingkap Keraguan di Balik Tasawwuf

Judul: Syubhat at-Tashawwuf
Pengarang: Dr. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Quraisy

Data lainnya: Lupa, soalnya bukunya pinjem dari mBah Ari.

Tasawwuf sering dinisbatkan pada terma mistime. Sesuatu hal yang mistik (ghaib) entah itu tersembunyi ataupun hal yang bersifat rahasia, itulah tasawuf . Sedangkan Dr. ‘Abdussatar ar-Rawi mendefinisikannya sebagai eksperimen spiritual-personal yang dilakukan seseorang yang “tergoda” dengan ilmu ini (karena ada beberapa sufi yang menganggap tasawuf adalah sebuah ilmu). Tasawuf adalah ilmu perasaan (dzauq), maka tasawuf merupakan gerakan-gerakan spiritual yang telah ada sejak Islam muncul, meskipun sebenarnya secara definitif istilah tasawuf belum dikenal .

Para ulama sendiri berbeda pendapat tentang kapankah pertama kali tasawuf muncul ke permukaan dunia Islam. Ada golongan yang menisbatkan Imam ‘Ali sebagai zâhid (pelaku zuhud), ialah sang sufi pertama. Pun, hal ini tidak bisa dilacak kevaliditasannya, karena sebelum Islam datang pun, perilaku rahbâniyyah (zuhud klasik) sudah mentradisi dalam kehidupan bangsa arab. Namun semenjak Islam datang, konsep rahbâniyyah telah dimodifikasi sehingga ia (zâhid) tidak benar-benar meninggalkan dunia dan segala urusannya, tapi menuju ke tataran etis. Asketisisme (percobaan untuk memperoleh kesempurnaan moral tertentu melalui usaha keras dalam disiplin diri) semakin menggurita di kalangan muslimin sendiri pada masa Hasan al-Bashri (21-110 H) dan setelahnya . Sejak tokoh-tokoh sufi bermunculan seperti Imam ‘Ali, Hasan al-Bashri (21-110 H), Robi’ah al-‘Adawiyah (95-185 H), Ibrahim bin Adham (w. 161 H), Fudhail bin ‘Iyadh (105-187 H), Abu Yazid al-Busthomi (188-261 H), Junaid al-Baghdadi (215-297 H), al-Hallaj (244-309 H), Siroj at-Thusi (w. 378 H), Abu Tholib al-Makki (w. 386 H), al-Qusyairi (386-465 H), Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H), Ibnu ‘Arobi (560-638 H), as-Suhrowardi, ‘Abdul Qodir al-Jailani, Syaqiq al-Balkhi, Abu Bakar as-Syibli dan yang lainnya, maka berkembang dan beragam-macamlah teori dan cara yang bermunculan demi mendapatkan tempat terdekat di sisi Allah.

Sedangkan teosofi (pengelaborasian filsafat dalam tasawuf) masih menyisakan berbagai masalah yang tak kunjung henti. Filsafat-filsafat Plato, Socrates, Aristoteles, Persia klasik, India klasik digunakan para sufi dalam menjalani tasawuf, dan dengan pemahamannnya menurut individu-individu sufi itu sendiri. Maka, Abu Yazid al-Busthomi, al-Hallaj, Ibn ‘Arobi, Ibn al-Faridh, Syaikh Siti Jenar –dan lainnya- melontarkan pemikiran-pemikiran mereka yang menggemparkan. Seperti gejala Hellenisme, maka setelah dua “punggawa” teosofi (al-Hallaj dan Ibn ‘Arobi) dihukum, aliran teologis-filsafat semakin menyebar. Hingga, Haji Mutamakkin dari tanah jawa yang pernah melahirkan “Serat Cabolek”.

Dalam buku ini, Dr. ‘Umar melihat beberapa penyimpangan dalam memahami dunia tasawuf. Sehingga, Doktor pengajar di kuliah Dakwah Islamiyyah al-Azhar ini menulis buku Syubhât at-Tashawwuf, dengan berpihak pada teori-teori Ibn Taimiyah yang dipandang lebih moderat dan tidak terjebak dalam kungkungan fatalisme yang kerap dilakukan para sufi akibat perilaku sufistik yang berlebihan.

Anggapan-anggapan keliru kaum sufi tentang Nabi Muhammad SAW

Kaum sufi menganggap Nabi Muhammad SAW mengetahui hal-hal yang ghaib. Hal ini bersumber dari pengetahuan Nabi sendiri tentang sejarah umat-umat terdahulu, begitu juga kejadian-kejadian yang akan terjadi pada masa mendatang, termasuk pengetahuan Nabi tentang hari akhir.

Hal ini sangat bertentangan sekali dengan nash-nash yang ada. Dr. ‘Umar menukil beberapa dalil al-Quran yang memperkuat hal ini. Diantaranya, QS. al-An’âm: 50 “Katakanlah: Aku tidak mengajarkan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui hal yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan padamu bahwa aku seorang malaikat...” dan QS. al-An’âm: 59 “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua hal yang ghaib; tak ada yang mengatahuinya kecuali Dia sendiri”.

Sebenarnya, pengetahuan Nabi tentang hal-hal ghaib memang telah diberikan Allah, karena Nabi adalah sang pendakwah menuju ke jalan-Nya. Dan, pengetuhuan hal-hal yang ghaib hanyalah sebagai pemerkuat (bukti) dari kenabian beliau, sekaligus jadi salah satu cara untuk mendapatkan pengikut. Hal ini telah dituliskan Allah dalam QS. al-Jinn: 26-28, QS. Hud: 49, QS. Yusuf: 102, QS. Ali ‘Imrôn: 44.

Anggapan lain kaum sufi tentang Nabi, bahwasanya Nabi mengetahui –lafadz dan isi- al-Quran sebelum diwahyukan kepadanya. Mereka berhujjah dari cerita (yang menurut Dr. ‘Umar adalah kebohongan!) Jibril yang memuji Nabi “minka wa ilaika yâ Muhammad!” saat Nabi membaca ayat al-Quran sebelum diturunkan kepadanya. Bahkan lebih tragis lagi, disebutkan bahwa Nabi malah mewahyukan ayat-ayat al-Quran kepada Jibril!

Ibn ‘Arobi menafsirkan ayat 114 dari surat Tôha:
"Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah, "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."

dengan: Rasulullah telah diberikan al-Quran seluruhnya sebelum Jibril, tanpa diberi jeda antara ayat dan surat. Akan tetapi, beliau dilarang memberikan al-Quran kepada umatnya sebelum Jibril. Dalam nalar Dr. ‘Umar, hal ini tentu saja mustahil, sekaligus menafikan peranan Jibril.

Penafsiran yang tepat bagi ayat di atas, adalah QS. al-Qiyâmah: 16-18.
"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. 17Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu."

Seperti yang dituliskan Ibn Katsir dalam magnum opusnya, Tafsîr al-Qurân al-‘Adzîm, metode pengajaran terhadap Nabi melalui kejadian pewahyuan memang ada tiga tahap: 1. Menyimak malaikat yang membacakan kepadanya; 2. Membacanya; 3. Tafsir dan pendalaman makna esoterik. Memang Rasulullah diriwayatkan –pernah- membaca al-Quran bersamaan dengan perkataan Jibril, disebabkan takut lupa awal ayat sebelum sampai akhir ayat tersebut. Lalu, turunlah yang ada di surat Tôha, lalu dilanjutkan dengan ayat yang ada surat al-Qiyâmah tersebut.

Beberapa hujjah lain dilontarkan Dr. ‘Umar untuk melawan teori Ibn ‘Arobi; diantaranya:

1. QS. an-Najm: 5-7.
"Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, 6Yang mempunyai akal yang cerdas, dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. 7sedang dia berada di ufuk yang tinggi."

Dari ayat tersebut, jelas yang menurunkan wahyu kepada Nabi adalah Jibril, bukan Muhammad sendiri secara otomatis hafal begitu saja.

2. QS. al-Furqôn: 32-33.
Berkatalah orang-orang yang kafir, "Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). 33Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.

Berpegang pada kedua ayat ini, Dr. ‘Umar bahkan mengkategorikan perkataan Ibn ‘Arobi adalah perkataan orang kafir.

3. QS. al-Qodar: 1
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan.

4. QS. al-‘Alaq: 1.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

Pertama kali turun wahyu, Nabi tidak menyanggupi permintaan Jibril. Mâ anâ biqôri terlontar tiga kali. Logikanya, bagaimana seorang yang ummi bisa hafal al-Quran, padahal pada malam itu juga beliau diberi wahyu pertama kali.

5. Ketika Nabi ditanya tentang ruh, kisah al-Kahfi (ashabul kahfi), dan juga kisah Dzulqornain, Nabi tidak langsung menjawab, dikarenakan belum tahu. Akan tetapi, esoknya akan dijawab oleh Nabi setelah turun wahyu kepadanya. Pun begitu, Ibn ‘Arobi tetap saja ngeyel dan tetap saja berkukuh bahwa Nabi telah mengetahui al-Quran sebelum turunnya. Adapun Nabi tidak menjawab, menurutnya itu hanyalah salah satu metode Nabi dalam berdakwah saja.


Konsep Wali

Ditulis di kitab ini definisi wali menurut kaum torîqoh Tijâniyyah “seseorang yang diberi otoritas (diwalikan) Allah atas perintah-Nya, secara keistimewaan, serta mengetahui (musyâhadah) atas perbuatan-perbuatan -Nya dan sifat-sifat- Nya”. Menurut Dr. ‘Umar sendiri, makna perwalian dalam kalangan sufi menjadi jurang pemisah kedudukan antara syaikh dan muridnya, seperti sang wali itu sendiri –yang tidak dapat diketahui terkecuali kaum khowâsh- dengan para muslimin awam. Ketika Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad at-Tijani dilontari pertanyaan tentang manakah yang lebih sulit (diketahui) apakah Allah sendiri ataukah wali? Syaikh Abu al-‘Abbas menjawab dengan jelas: wali Allah lebih sulit diketahui. Sebabnya, sifat-sifat Allah jelas-jelas berbeda dengan sifat makhluk, sedangkan sifat-sifat dan ciri-ciri wali tidak berbeda dengan sifat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, wali tidak dapat diketahui kecuali kaum khowâsh.

Lebih jauh lagi, Sayyid Abu al-‘Abbas al-Mursi memuji wali lebih dalam. Seandainya sang wali menunjukkan diri kepada khalayak, bisa-bisa wali tersebut malah disembah. Sesungguhnya hakikat wali berbeda sama sekali dengan manusia pada umumnya, karena dalam dirinya terdapat akhlak ilahiyah yang esoterik dan eksoterik. Bahkan, lingkupan perwalian lebih luas daripada Nabi. Dikarenakan, lingkupan dakwah nabi hanya dikhususkan bagi umat mereka saja, sedangkan daerah kerja wali lebih umum. Hal inilah yang dikecam Dr. ‘Umar atas kedudukan wali yang lebih utama daripada nabi, bahkan Dr. ‘Umar menyebutnya ini adalah kesesatan yang nyata, “dholâl mubîn”.

Masih mengenai at-Tijani, Dr. ‘Umar mengecam teori-teori dan perkataan-perkataan at-Tijani yang menurutnya tidak layak keluar dari mulut seorang hamba mukmin, bahkan bisa saja ia mati dalam keadaan kafir! At-Tijani sendiri mendeklarasikan dirinya sebagai sayyidul auliyâ, dan ia juga sebagai qutub yang “tersembunyi” dari semua makhluk (hanya ia sendiri dan Allah yang mengetahui), bahkan mensejajarkan ruh Rasulullah dengan ruhnya sendiri berkedudukan sama!

Khotamul Auliyâ

Bagi kaum sufi, khotamul auliyâ adalah posisi yang sangat penting. Hal ini disebabkan teori khotamul auliyâ-nya sang sufi kontroversial: Ibn ‘Arobi. Dia berpendapat –tentang wahdatul wujûd-, ilmu ini (wahdatul wujûd) hanya dimiliki khotamul anbiyâ dan khotamul auliyâ. Tak ada seorang nabipun yang dapat mengetahui ilmu ini kecuali dari cahaya (petunjuk) khotamul anbiyâ. Begitu juga dengan wali, tidak dapat mengetahuinya kecuali dari cahaya khotamul auliyâ. Karena suatu saat nanti risalah Nabi dan syariat akan terputus, sedangkan perwalian akan tetap maujud.

Masih menurut Ibn ‘Arobi, khotamul auliyâ mempunyai 2 kelebihan dibandingkan khotamul anbiyâ:

1. Khotamul auliyâ mendapat ilmu dari Tuhan secara langsung, sedangkan khotamul anbiyâ melalui perantara malaikat.

2. Khotamul auliyâ yang akan menyempurnakan agama, karena Rasulullah hanya mengajarkan sebagian, maka tugas khotamul auliyâlah yang akan menyempurnakannya.

Karena dua kelebihan inilah, maka para sufi ”mengkampanyekan” diri bahwa ialah sang khotamul auliyâ. Dr. ‘Umar menyebut Ahmad at-Tijani, Ibn ‘Arobi, dan Abu Yazid al-Busthomi mengaku sebagai khotamul auliyâ.

Dr. ‘Umar sendiri mendefinisikan wali sebagai seorang mukmin yang diberi hidayah oleh Allah, taqwa serta cinta kepadaNya. Hujjah dari kitab suci sudah jelas, QS. Yûnus: 62-64, QS. al-Baqarah: 258, QS. al-Isrô: 111.

Mengutip Abu Bakar al-Jazairi dalam ‘Aqîdatul Mukmin, wali memiliki 4 tingkatan:

1. Tertinggi, adalah tingkatannya para nabi dan rosul.

2. Mulia (al-‘âliyah), adalah tingkatan orang-orang terdahulu yang dekat kepada rasul.

3. Menengah, adalah tingkatan orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
4. Dasar, adalah tingkatan orang-orang yang lemah iman dan taqwanya.

Akan tetapi Ibn Taimiyah sendiri mengkategorikan wali ada dua macam: wali ‘âm yang mencakup semua orang mukmin, dan wali khôsh yang lebih unggul dari wali ‘âm. Ini didasari dari QS. Yûnus: 62-63

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 63(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa

Konsep Karomah

Karomah berfungsi sebagai alat dakwah. Adapun hal-hal yang yang tidak umum (khôriqul ‘âdah) itu adalah cirinya sekaligus kelebihannya, agar orang-orang tertarik, lalu risalah-risalah Allah disampaikan melalui itu. Ibn Taimiyah memberi batasan antara mukjizat dan karomah. Mukjizat adalah sesuatu (things) yang sangat agung yang hanya terdapat pada (diri) Nabi, sebagai bukti atas ke-shidq-kannya. Sedangkan karomah hampir seperti mukjizat, hanya saja karomah tidak sebesar mukjizat, dan bukanlah tipuan atau sihir, karena semuanya bersumber dari Allah SWT.

Ibn Taimiyah sendiri tidak memberi penjelasan tentang pembeda antara karomah dan sihir. Hanya ada 3 kategori –menurut penulis- yang dapat dijadikan landasan untuk mengetahui apakah sesuatu yang menyalahi hukum kehidupan itu karomah, ataukah malah sihir: tujuan (kepentingan), sifat, dan pihak yang membantu.

Dr. ‘Umar mengutip macam-macam karomah dari buku al Kawakib al Durriyyah yang ditulis 'Abdul Rauf al-Manawi. Disebutkan yang paling tinggi adalah menghidupkan orang mati, seperti yang terjadi oleh Abu ‘Abid al-Yusri, al-Kailani, Abu Yusuf ad-Dahani. Lalu setelahnya, dapat mendengarkan percakapan benda-benda mati, bepergian dengan malaikat, bercakap dengan orang mati, dsb.

Permasalahan Syariat vis â vis Hakikat

Syariat adalah eksoterik, sedangkan hakikat adalah esoterik. Begitulah pandangan kaum intelektual kontemporer. Sejatinya, syariat dan hakikat berjalan beriringan, tak ada syariat tanpa hakikat, begitu juga sebaliknya. Kedua hal ini bagaikan sebuah benda dengan bayangannya, atau manusia dengan ruhnya. Pada awalnya, syariat dan tasawuf (ilmu hakikat) berjalan dengan damai, tapi pada masa zaman pertengahan (semenjak zaman Imam Ghozali atau perang salib) kedua hal ini tampak berbentrokan. Hal ini yang dibahas Dr. ‘Umar menurut kacamata kaum sufi itu sendiri.

“Barangsiapa bertasawuf namun tidak bersyariat, maka ia adalah zindiq, dan barangsiapa bersyariat tanpa bertasawuf maka ia adalah fasiq. Dan barangsiapa mengelaborasi keduanya maka itulah yang benar”. Dr. ‘Umar mengomentari qaul masyhur yang dinisbatkan kepada Imam Malik ini. Dalam argumen beliau, tidak mungkin qaul ini keluar dari mulut Imam Malik, bahkan Dr. ‘Umar menuduh (kaum sufi) berbohong dan mencatut nama besar Imam Malik saja. Bagaimana mungkin Imam Malik penyebar syariat itu sebegitu mudahnya mengkategorikan orang menjadai zindiq atau fasiq. Apalagi di zaman Imam Malik istilah tasawuf belum dikenal, melainkan istilah zuhud.

Dalam hal lain, Dr. ‘Umar menyimpulkan tujuan tasawuf adalah membuat umat Islam jumud dan terbelakang. Hal ini dikarenakan kekuatan mistisme yang terlalu ditonjolkan tanpa mau bernalar dan berijtihad. Murid harus patuh pada semua perkataan syaikh, meninggalkan kesibukan dunia, dan berbagai macam bid’ah lainnya. Karena kepatuhan mutlak inilah mursyid menjadi superior dan semakin mengukuhkan supremasinya atas muridnya yang masih awam. Beliau menukil satu qaul Imam Junaid yang menyukai murid yang tidak menyibukkan diri dalam 3 hal: pekerjaan, mencari hadits, dan membaca dan menulis. Tampak jelas sekali, tanpa adanya kegiatan tulis-menulis, ilmu tidak akan didapat, dan murid akan tetap berada dalam kungkungan kejumudan.

Dr. ‘Umar setuju dengan pendapat Ibn Taimiyah yang membatasi kepatuhan murid terhadap syaikhnya. Kepatuhan terhadap syaikh selama: 1. tidak menyalahi agama (tidak bermaksiat kepada Allah); dan 2. tidak menuruti keinginan hawa nafsu syaikh, yang bukan bersumber dari agama dan untuk agama. Taklid buta sangat dihindari, hendaknya para murid harus mengetahui batasan-batasan halal-haram, syubhat-sunnat, bid’ah, dsb.

Khulasoh al Kalam

Dalam sebagian besar buku yang spektakuler ini, Dr. ‘Umar menyanggah (me-radd) pandangan-pandangan kaum sufi yang ia anggap konyol, tidak masuk akal, bid’ah, khurofat, fasiq, bahkan kafir. Seringkali beliau mempertanyakan status keislaman mereka, dengan nada tuduhan –gaya Wahabi- yang tidak enak didengar. Kesalahan-kesalahan kaum sufi diekspose secara berulang-ulang dan terlalu sering menggeneralisir teori (konsep/pendapat) sufi. Satu contoh, sufi seperti at-Tijani, Abu Yazid al-Busthomi, al-Hallaj, Ibn ‘Arobi, Ibn al-Faridh –dengan nada yang sentimentil- dibabat semua pendapatnya tanpa terkecuali, hingga murid-murid dan pengikutnya. Walhasil, metodologi penulisan kitab ini menjadi agak berat sebelah dan kurang familiar dengan orang-orang tasawuf (sûfiyah). Menurutnya, Ibn Taimiyah adalah sufi moderat, yang sama sekali tidak suka dengan taklid buta dan memerangi kejumudan, walaupun tidak sedikit beberapa anggapan kaum sufi (yang dianggap salah) “hanya” dilawan dengan dalil naqli saja. Maka, nash menjadi sebuah pintu gerbang Islam yang tidak dapat dimasuki pendapat lain yang berlawanan (kontroversial) . Begitu tidak sesuai dengan al-Quran ataupun hadits –tentu saja menurut penafsirannya- , maka dijustifikasi keluar dari mainstream Islam. Hal ini bisa dimaklumi penulis, sebab latar belakang Dr. ‘Umar adalah pengajar dakwah yang memang mainstreamnya melawan keterbelakangan dan hal-hal yang khurofat, demi berdakwah menuju Islam yang maju.

Hanya melalui coretan-coretan yang jauh dari sempurna inilah yang bisa penulis sampaikan isi buku Syubhât at-Tashawwuf karangan Dr. ‘Umar. Tentunya masih sangat banyak kekurangan yang penulis rasa. Toh, semua itu adalah proses meuju arah yang lebih progresif. Amîn. Akhirnya, kepada semua kawan-kawan, selamat berdiskusi!

Catatan:

  • Makalah disajikan untuk diskusi bedah buku Rakhma, dari buku Syubhât at-Tashawwuf karangan Dr.Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Quraisy, pengajar Da’wah Islamiyyah Universitas al-Azhar.
  • Haji Mutamakkin, berasal dari Kajen, Pati. Beliau menulis dalam serat Caboleknya bahwa sholat itu tidak wajib. Inilah yang menjadikannya kontroversial. Dikisahkan Haji Mutamakkin adalah seorang waliyullah, maka tidak heran haulnya yang jatuh tiap tanggal 10 Muharram ratusan ribu orang berziarah ke makam beliau. Haulnya digelar selama satu minggu. Bisa dilihat di wikipedia.
  • Sumber referensi lain:
  1. ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, at-Tafkir Farîdloh Islâmiyyah (Cairo, Dar al-Rasyad al-Haditsah, tt) dalam bab Tasawwuf.
  2. Prof. Dr. ‘Abdul Sattar ar-Rawi, dalam jurnal Nuansa, Juli 2006.
  3. Prof. W. Montgmery Watt, The Majesty That Was Islam -terj. (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1990)

Read More..

Saturday, March 21, 2009

Program Jadi-jadian

Coba aku buat list, apa aja yang pengen aku lakukan untuk beberapa waktu ke depan. Bukan keharusan sih, jadi obsesi aja. Setidaknya rencanaku yang entah kapan akan tercapai. Mengingat banyak terikat dengan berbagi hal yang harus mendukung program ini (udah kaya caleg aja, pake program berjangka yang ndak tahu entah akan berhasil apa ndak, lha tergantung relevan ndak buat zaman sekarang).
  1. Membaca habis semua buku yang aku bawa dari Indonesia, dan diresensi. Soalnya kalo ndak diresensi, otak yang short time memory ini sering lupa intisari bukunya.
  2. Punya kamera digital, minimal 8 MP. Biar kalo jalan-jalan bisa narsisan, trus tak upload di blog, fs & fb. Postingan di blog kalo cuman tulisan aja kan kurang cantik, dan aku bosen search poto-poto di mbah Gugel.
  3. Beli kitab-kitab tafsir ternama yang aku belum aku punya, sesuai dengan jurusan yang aku jalani sekarang.
  4. Berkelana ke tempat wisata. Masak udah 4 tahun menjajah Mesir tapi belum menjelajahi tempat wisata?
Hmm... realistis ndak yaw? Semoga aja ndak berlebihan, dan aku diberi semangat dari Yang Maha Superlative!

Read More..

Duh, Dia Datang Lagi

Tuhan, mengapa dia hadir (kembali) dalam mimpi?
Sekian waktu tak cukup menghapusnya
Alam bawah sadarku menyentil
Kehadiranmu, sungguh tak kuharap

Kau datang tanpa salam
Tak memberi kabar, entah siapa yang membawamu
Lalu kau harap aku berbuat apa?

Kenapa sih kamu datengin aku? Padahal sejak itu aku udah lupa. Apa emang ritual tahunan kamu hampir tiba?
Oh, udah lama ndak nulis puisi, jadinya ancur banget! Setidaknya itu menambah penjelasan atas masa kini. Terima kasih!

Read More..

Wednesday, March 18, 2009

Koleksi Baru: al-Risalah Imam Syafi'i

Setelah mengikuti pelajaran pertama hadits tahlili, aku ke toko buku, karena jam kedua kosong, dan nanti jam ketiga masuk kuliah lagi. Iseng-iseng (aslinya bete sih, nunggu sampe jam satu siang), siapa tahu ada buku yang menarik yang belum kumiliki. Masuk ke toko Dar al-'Aqidah yang terkenal sebagi penyalur buku-buku beraliran salafi, ada dua buku yang menarik perhatianku. al-Risalah punya Imam Syafi'i dan Tafsir al-Thobari. Aku coba tanya harganya, ternyata al-Risalahnya Imam Syafi'i dibandrol 42 LE! Ckckckck, padahal cuma satu jilid, dan terbitan dalam negri, bukan impor dari negara Lebanon. Untuk Tafsir Thobari kurasa tak perlu menanyakan harganya, sebab sudah tentu mahal, dan aku cuma bawa uang 30 LE, sedang aku tadi berniat mengambil beasiswa, kantornya malah tutup, pegawainya ndak masuk.

Walhasil, misi membeli al-Risalah dibelokkan ke toko buku lain. Aku pikir, kitab klasik apapun pasti sudah pernah diterbitkan di al-Halabi. Kenapa aku cari buku ini di toko al-Halabi? Sebab dari segi orisinalitas, pentahqiqan, dan harga, penerbit ini lebih dapat dipercaya di kalangan pecinta ilmu di Mesir. Benar juga, di toko Musthofa al-Babi al-Halabi, aku mendapatkan buku ini seharga 7 LE! Buku cetakan kedua tahun 1983. Maka jangan heran kondisi fisik buku ini yang kertasnya seputih susu yang dicampur moka. Agak krem dikit gitulah. Ono rupo, ono rego, kata orang jawa. Keindahan rupa ada harganya. Coba aja bayangkan kitab kuno yang harganya 7 LE bersampul karton putih yang hanya tertulis judul kitab dan pengarangnya, tanpa dekorasi apalagi jilid hard cover, dengan kitab yang sama bernilai 6 kali lipatnya!

Buku yang aku beli ini adalah al-Risalah yang diriwayatkan al-Robi' bin Sulaiman, murid Imam Syafi'i. Jumlah halamannya juga tak terlalu tebal, hanya 268 halaman. Sekilas aku ragu, jangan-jangan buku ini berbeda dengan yang dijual di toko Dar al-Aqidah yang diterbitkan Dar al-Shid kalau ndak salah. Kalau memang sama, kenapa buku yang diterbitkan al-Halabi tipis begini? Karena aku belum pernah mempelajari al-Risalah yang asli, padahal aku tadi udah bolak-balik halaman al-Risalah yang dijual di Dar al-'Aqidah, tapi ndak ingat satu hurufpun yang tertulis di muqoddimah atau daftar isi yang kubaca. Mungkin otakku perlu dikutuk, sebab daya ingatku makin rapuh. Anyway, al-Risalah yang kubeli ini bagus juga kok. Fontnya besar-besar, jelas, dan tidak sedikit yang berharokat (jaman gini cari yang berharokat?!)

Kenapa aku cari kitab ini? Kalau kita mempelajari ilmu ushul fiqh, berarti kita mempelajari ilmu yang Imam Syafi'i temukan. Dan kitab al-Risalah ini adalah masterpiecenya dalam ilmu ini, bahkan kitab pertama yang membahas ilmu ushul fiqh dan menjadi rujukan utama! Di muqoddimah kitab ini, sang pentahqiq (M. Sayyid Kaylani) menukil komentar Fakhrurrozi dalam kitab Manaqib al-Syafi'i

"Ulama sebelum era al-Syafi'i memperbincangkan masalah ushul fiqh, saling beristidlal dan menyanggah, tetapi mereka tidak mempunyai teori menyeluruh yang menjadi rujukan dalam pengetahuan dalil-dalil syariat, dan cara menyanggahnya dan merojihkannya. al-Syafi'i-lah yang menemukan ilmu ushul fiqh. Meletakkan undang-undang komplit yang menjadi rujukan dalam pengetahuan hirarki dalil-dali syar'i. Penisbatan ilmu syariah kepada Imam Syafi'i seperti halnya penisbatan ilmu logika kepada Aristoteles."

Siapa sih Imam Syafi'i itu? Beliau adalah pendiri mazhab Syafi'i yang dianut oleh mayoritas umat muslim di dunia. Mazhabnya dalam fiqh moderat, mengkompromikan antara nash (al-Quran dan al-Hadits) dengan rasionalitas. Hirarki sumber hukum dalam mazhabnya adalah al-Quran, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas.

Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota di dekat Gaza. Menurut para ahli sejarah, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafiah dalam bidang fiqh yang cenderung menggunakan rasio.

Lalu beliau rihlah dalam rangka mencari ilmu ke Makkah, Madinah, Yaman, Baghdad, dan Mesir. Di antara guru-gurunya adalah Imam Malik, pendiri mazhab Malikiyah di Madinah, Sufyan bin 'Uyainah di Makkah, Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali yang juga sekaligus muridnya di Makkah dan Baghdad, Sayyidah Nafisah di Mesir, dll.

Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majlis, maka Imam Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah al-Qur’an, lebih dari kitab al-Muwattha’.” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Imam Syafi'i sendiri menghafalkan kitab al-Muwattha hanya dalam beberapa hari. Sungguh kecerdasan yang luar biasa!

Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdadlah beliau mengeluarkan qaul qadim, lalu setelah pindah ke Mesir beliau mengeluarkan qaul jadid dalam mazhabnya. Adanya qaul jadid dikarenakan munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi kekhalifahan, dan beliau melihat kenyataan dan masalah di Mesir berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, yang biasa disebut dengan istilah qaul jadid. Namun demikian, tidak semua qaul jadid bisa menghapus qaul qadim, dikarenakan qaul qadim dapat dipergunakan menurut kondisinya.

Akhirnya Imam Syafi'i menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 29 Rahab 204 H, pada umur 54 tahun. Empat tahun terakhirnya beliau bertempat di Mesir, tetap mengajar dan belajar, menyerap ilmu dan mentransfernya ke murid-muridnya. Untuk mengenang sang Imam, tepat di sebelah barat makam Imam Syafi'i didirikan masjid yang juga diberi nama Masjid Imam Syafi'i. Makam Zakariya al-Anshori juga ada dalam satu komplek makam Imam Syafi'i.

Masih ingat bait syi'ir indah Syafi'i yang mengingatkan dia akan gurunya, Imam Waki'?
شَكَوْتُ إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي ....... فَأرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ المعَاصي
وَأخْبَرَنِي بأَنَّ العِلْمَ نُورٌ...................ونورُ الله لا يهدى لعاصي

Read More..

Friday, March 13, 2009

Naskah Pengunduran Diri Soeharto

Iseng-iseng buka wikipedia, ternyata ada ruang untuk menyimpan teks-teks bersejarah, namanya wikisource. Salah satunya, teks pengunduran diri HM Soeharto sebagai Presiden RI. Masih segar di ingatan, siaran televisi nasional yang berulang-ulang menayangkan pidato ini sepanjang hari. 21 Mei 1998, mahasiswa yang berdemonstrasi di gedung DPR-MPR semakin menggurita. Tak ada kata surut bagi mahasiswa, selama reformasi belum benar-benar terjadi, perjuangan tak akan pernah rampung, dan semangat itu tak akan pernah reda. Akhirnya, Pak Harto memilih mengundurkan diri daripada harus melihat mahasiswa tertembak peluru Angkatan Bersenjata Republik ini lagi. Cukuplah sudah Semanggi dan Trisakti menjadi saksi kekejaman peluru yang menembus nyawa saudara setanah air. Berikut isi naskah aslinya:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERNYATAAN BERHENTI SEBAGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.

Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkan Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.

Dengan memperhatikan keadaan diatas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada didalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.

Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan dihadapan Saudara-saudara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang juga adalah Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Jakarta, 21 Mei 1998.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Sesuai dengan pasal 8 UUD-45 maka Wakil Presiden Republik Indonesia yang Prof Dr. B J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998–2003.

Atas bantuan dan dukungan Rakyat selama saya memimpin Negara dan Bangsa Indonesia ini, saya ucapan trima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga Bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 45 nya.

Mulai ini hari Kabinet Pembangunan ke VII demisioner dan pada para Mentri saya ucapkan trima kasih.

21/5 98

Naskah berhasil dicolong dari sini.
Versi asli (ketikan dengan kop surat Kepresidenan dan tulisan tangan asli) bisa dilihat di situsnya Pak Yusril Ihza Mahendra yang memang menyimpan kopiannya untuk koleksi pribadi, karena naskah ini bukan termasuk dokumen rahasia negara.

Read More..

Piagam Madinah

Piagam Madinah, juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) di tahun 622. Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut Ummah. Berikut terjemahan Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal itu.

Mukadimah
Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang "Inilah Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad SAW di kalangan orang-orang yang beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka."

I. Pembentukan Ummat
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.

Pasal 2
Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli mereka, saling menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat) karena suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 3
1. Banu 'Awf (dari Yathrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung menanggung uang tebusan darah (diyat).
2. Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 4
1. Banu Sa'idah (dari Yathrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung menanggung wang tebusan mereka.
2. Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan wang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 5
1. Banul-Harts (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, saling tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 6
1. Banu Jusyam (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman

Pasal 7
1. Banu Najjar (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) dengan secara baik dan adil.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang beriman.

Pasal 8
1. Banu 'Amrin (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 9
1. Banu An-Nabiet (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 10
1. Banu Aws (dari suku Yathrib) berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

III. Persatuan Se-agama
Pasal 11
Sesungguhnya orang-orang beriman tidak akan melalaikan tanggung jawabnya untuk memberi sumbangan bagi orang-orang yang berhutang, karena membayar uang tebusan darah dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 12
Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa persetujuan terlebih dahulu dari padanya.

Pasal 13
1. Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang yang berbuat kesalahan, melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang beriman.
2. Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri.

Pasal 14
1. Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang beriman lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman.
2. Tidak pula diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang kafir untuk melawan seorang yang beriman lainnya.

Pasal 15
1. Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah.
2. Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan sesama mereka daripada (gangguan) manusia lain

IV. Persatuan Segenap Warga Negara
Pasal 16
Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.

Pasal 17
1. Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
2. Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.

Pasal 18
Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.

Pasal 19
1. Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas tiap-tiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan.
2. Setiap orang beriman yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat.

Pasal 20
1. Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman (musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui.
2. Campur tangan apapun tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang beriman.

Pasal 21
1. Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang beriman dengan cukup bukti atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau wali (keluarga yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima ganti kerugian (diyat).
2. Segenap warga yang beriman harus bulat bersatu mengutuk perbuatan itu, dan tidak diizinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.

Pasal 22
1. Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan memberikan tempat kediaman baginya.
2. Siapa yang memberikan bantuan atau memberikan tempat tinggal bagi pengkhianat-pengkhianat negara atau orang-orang yang salah, akan mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari kiamat nanti, dan tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.

Pasal 23
Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad SAW.

V. Golongan Minoritas
Pasal 24
Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.

Pasal 25
1. Kaum Yahudi dari suku 'Awf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan warga yang beriman.
2. Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka.
3. Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri.
4. Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.

Pasal 26
Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas

Pasal 27
Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas

Pasal 28
Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas

Pasal 29
Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas

Pasal 30
Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas

Pasal 31
1. Kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti kaum yahudi dari Banu 'Awf di atas
2. Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan, maka ganjaran dari pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan keluarganya.

Pasal 32
Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa'labah

Pasal 33
1. Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas.
2. Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.

Pasal 34
Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa'labah.

Pasal 35
Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan sama seperti kaum Yahudi.

VI. Tugas Warga Negara
Pasal 36
1. Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad SAW
2. Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan orang kepadanya
3. Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu menimpa dirinya dan keluarganya, kecuali untuk membela diri
4. Tuhan melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini

Pasal 37
1. Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin memikul biaya negara
2. Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari piagam ini
3. Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati dan berbuat kebajikan, dan menjauhi segala dosa
4. Seorang warga negara tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang dibuat sahabat/sekutunya
5. Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang/golongan yang teraniaya

Pasal 38
Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang beriman, selama peperangan masih terjadi

VII. Melindungi Negara
Pasal 39
Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini

Pasal 40
Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai diri-sendiri, tidak boleh diganggu ketenteramannya, dan tidak diperlakukan salah

Pasal 41
Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya

VIII. Pimpinan Negara
Pasal 42
1. Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau terjadi pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya menurut (hukum ) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad SAW
2. Tuhan berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia kepadanya

Pasal 43
Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala orang yang membantu mereka

Pasal 44
Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk menentang setiap agresor yang menyergap kota Yathrib

IX. Politik Perdamaian
Pasal 45
1. Apabila mereka diajak kepada pendamaian (dan) membuat perjanjian damai (treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai
2. Setiap kali ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang menunjukkan permusuhan terhadap agama (Islam)
3. Kewajiban atas setiap warganegara mengambil bahagian dari pihak mereka untuk perdamaian itu

Pasal 46
1. Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk kebaikan (pendamaian) itu
2. Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat menghilangkan segala kesalahan

X. Penutup
Pasal 47
1. Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas dirinya
2. Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini, yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya
3. Sesungguhnya tidaklah boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi orang-orang yang dhalim dan bersalah
4. Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian (keluar), adalah aman
5. Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali orang-orang yang dhalim dan berbuat salah
6. Sesungguhnya Tuhan melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap taqwa (waspada)
7. Dan (akhirnya) Muhammad adalah Pesuruh Tuhan, semoga Tuhan mencurahkan shalawat dan kesejahteraan atasnya

Keterangan
* Menurut riwayat Ibnu Ishaq dalam bukunya Sirah an-Nabi SAW juz II hal 119-123, dikutip Ibnu Hisyam (wafat : 213 H.828 M). Disistematisasikan ke dalam pasal-pasal oleh Dr. AJ Wensinck dalam bukunya Mohammad en de Yoden le Medina (1928), pp. 74-84, dan W Montgomery Watt dalam bukunya Mohammad at Medina (1956), pp. 221-225
* Digandakan untuk keperluan pelajaran Pendidikan Ahlussunnah wal-Jama'ah Kelas I (satu) Program Madrasah Diniyyah Wustha (MDW) Al Muayyad Mangkuyudan, Surakarta, semester II, oleh Drs. M Dian Nafi'
Terjemahan ini diambil dari sini.

Read More..

Chinese Democracy

>>> Guns N Roses

It don't really matter
Gonna find out for yourself
No it don't really matter
You're gonna leave this thing to
Somebody else

If they were missionaries
Real time visionaries
Sitting in a Chinese stew
To view my dis-infatu-ation
I know that I'm a classic case
Watch my disenchanted face
Blame it on the Falun Gong*
They've seen the end and you can't hold on now

Cause it would take a lot more hate than you
To win the fascination
Even with an iron fist
All they got to rule the nation
But all I got is precious time

It don't really matter
You're gonna find out for yourself
No it don't really matter
So you can hear now from
Somebody else

Cause it would take a lot more time than you
I've got more masturbation
Even with your iron fist
All they got to rule the nation but all I got is
Precious time
All they got to rule the nation but all I got is
Precious time

It don't really matter
I guess you'll find out for yourself
No it don't really matter
So you can hear it now from
Somebody else

You think you got it all locked up inside
And if you beat them all up they'll die
Then you'll walk them home for the cells
Then now you'll dig for your road back to hell
And with your ? makes you stop
As if your eyes were their eyes you can tell
And you're out of time

lirik nggoshob dari sini

Read More..