Tuesday, March 31, 2009

Menyingkap Keraguan di Balik Tasawwuf

Judul: Syubhat at-Tashawwuf
Pengarang: Dr. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Quraisy

Data lainnya: Lupa, soalnya bukunya pinjem dari mBah Ari.

Tasawwuf sering dinisbatkan pada terma mistime. Sesuatu hal yang mistik (ghaib) entah itu tersembunyi ataupun hal yang bersifat rahasia, itulah tasawuf . Sedangkan Dr. ‘Abdussatar ar-Rawi mendefinisikannya sebagai eksperimen spiritual-personal yang dilakukan seseorang yang “tergoda” dengan ilmu ini (karena ada beberapa sufi yang menganggap tasawuf adalah sebuah ilmu). Tasawuf adalah ilmu perasaan (dzauq), maka tasawuf merupakan gerakan-gerakan spiritual yang telah ada sejak Islam muncul, meskipun sebenarnya secara definitif istilah tasawuf belum dikenal .

Para ulama sendiri berbeda pendapat tentang kapankah pertama kali tasawuf muncul ke permukaan dunia Islam. Ada golongan yang menisbatkan Imam ‘Ali sebagai zâhid (pelaku zuhud), ialah sang sufi pertama. Pun, hal ini tidak bisa dilacak kevaliditasannya, karena sebelum Islam datang pun, perilaku rahbâniyyah (zuhud klasik) sudah mentradisi dalam kehidupan bangsa arab. Namun semenjak Islam datang, konsep rahbâniyyah telah dimodifikasi sehingga ia (zâhid) tidak benar-benar meninggalkan dunia dan segala urusannya, tapi menuju ke tataran etis. Asketisisme (percobaan untuk memperoleh kesempurnaan moral tertentu melalui usaha keras dalam disiplin diri) semakin menggurita di kalangan muslimin sendiri pada masa Hasan al-Bashri (21-110 H) dan setelahnya . Sejak tokoh-tokoh sufi bermunculan seperti Imam ‘Ali, Hasan al-Bashri (21-110 H), Robi’ah al-‘Adawiyah (95-185 H), Ibrahim bin Adham (w. 161 H), Fudhail bin ‘Iyadh (105-187 H), Abu Yazid al-Busthomi (188-261 H), Junaid al-Baghdadi (215-297 H), al-Hallaj (244-309 H), Siroj at-Thusi (w. 378 H), Abu Tholib al-Makki (w. 386 H), al-Qusyairi (386-465 H), Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H), Ibnu ‘Arobi (560-638 H), as-Suhrowardi, ‘Abdul Qodir al-Jailani, Syaqiq al-Balkhi, Abu Bakar as-Syibli dan yang lainnya, maka berkembang dan beragam-macamlah teori dan cara yang bermunculan demi mendapatkan tempat terdekat di sisi Allah.

Sedangkan teosofi (pengelaborasian filsafat dalam tasawuf) masih menyisakan berbagai masalah yang tak kunjung henti. Filsafat-filsafat Plato, Socrates, Aristoteles, Persia klasik, India klasik digunakan para sufi dalam menjalani tasawuf, dan dengan pemahamannnya menurut individu-individu sufi itu sendiri. Maka, Abu Yazid al-Busthomi, al-Hallaj, Ibn ‘Arobi, Ibn al-Faridh, Syaikh Siti Jenar –dan lainnya- melontarkan pemikiran-pemikiran mereka yang menggemparkan. Seperti gejala Hellenisme, maka setelah dua “punggawa” teosofi (al-Hallaj dan Ibn ‘Arobi) dihukum, aliran teologis-filsafat semakin menyebar. Hingga, Haji Mutamakkin dari tanah jawa yang pernah melahirkan “Serat Cabolek”.

Dalam buku ini, Dr. ‘Umar melihat beberapa penyimpangan dalam memahami dunia tasawuf. Sehingga, Doktor pengajar di kuliah Dakwah Islamiyyah al-Azhar ini menulis buku Syubhât at-Tashawwuf, dengan berpihak pada teori-teori Ibn Taimiyah yang dipandang lebih moderat dan tidak terjebak dalam kungkungan fatalisme yang kerap dilakukan para sufi akibat perilaku sufistik yang berlebihan.

Anggapan-anggapan keliru kaum sufi tentang Nabi Muhammad SAW

Kaum sufi menganggap Nabi Muhammad SAW mengetahui hal-hal yang ghaib. Hal ini bersumber dari pengetahuan Nabi sendiri tentang sejarah umat-umat terdahulu, begitu juga kejadian-kejadian yang akan terjadi pada masa mendatang, termasuk pengetahuan Nabi tentang hari akhir.

Hal ini sangat bertentangan sekali dengan nash-nash yang ada. Dr. ‘Umar menukil beberapa dalil al-Quran yang memperkuat hal ini. Diantaranya, QS. al-An’âm: 50 “Katakanlah: Aku tidak mengajarkan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui hal yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan padamu bahwa aku seorang malaikat...” dan QS. al-An’âm: 59 “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua hal yang ghaib; tak ada yang mengatahuinya kecuali Dia sendiri”.

Sebenarnya, pengetahuan Nabi tentang hal-hal ghaib memang telah diberikan Allah, karena Nabi adalah sang pendakwah menuju ke jalan-Nya. Dan, pengetuhuan hal-hal yang ghaib hanyalah sebagai pemerkuat (bukti) dari kenabian beliau, sekaligus jadi salah satu cara untuk mendapatkan pengikut. Hal ini telah dituliskan Allah dalam QS. al-Jinn: 26-28, QS. Hud: 49, QS. Yusuf: 102, QS. Ali ‘Imrôn: 44.

Anggapan lain kaum sufi tentang Nabi, bahwasanya Nabi mengetahui –lafadz dan isi- al-Quran sebelum diwahyukan kepadanya. Mereka berhujjah dari cerita (yang menurut Dr. ‘Umar adalah kebohongan!) Jibril yang memuji Nabi “minka wa ilaika yâ Muhammad!” saat Nabi membaca ayat al-Quran sebelum diturunkan kepadanya. Bahkan lebih tragis lagi, disebutkan bahwa Nabi malah mewahyukan ayat-ayat al-Quran kepada Jibril!

Ibn ‘Arobi menafsirkan ayat 114 dari surat Tôha:
"Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah, "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."

dengan: Rasulullah telah diberikan al-Quran seluruhnya sebelum Jibril, tanpa diberi jeda antara ayat dan surat. Akan tetapi, beliau dilarang memberikan al-Quran kepada umatnya sebelum Jibril. Dalam nalar Dr. ‘Umar, hal ini tentu saja mustahil, sekaligus menafikan peranan Jibril.

Penafsiran yang tepat bagi ayat di atas, adalah QS. al-Qiyâmah: 16-18.
"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. 17Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu."

Seperti yang dituliskan Ibn Katsir dalam magnum opusnya, Tafsîr al-Qurân al-‘Adzîm, metode pengajaran terhadap Nabi melalui kejadian pewahyuan memang ada tiga tahap: 1. Menyimak malaikat yang membacakan kepadanya; 2. Membacanya; 3. Tafsir dan pendalaman makna esoterik. Memang Rasulullah diriwayatkan –pernah- membaca al-Quran bersamaan dengan perkataan Jibril, disebabkan takut lupa awal ayat sebelum sampai akhir ayat tersebut. Lalu, turunlah yang ada di surat Tôha, lalu dilanjutkan dengan ayat yang ada surat al-Qiyâmah tersebut.

Beberapa hujjah lain dilontarkan Dr. ‘Umar untuk melawan teori Ibn ‘Arobi; diantaranya:

1. QS. an-Najm: 5-7.
"Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, 6Yang mempunyai akal yang cerdas, dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. 7sedang dia berada di ufuk yang tinggi."

Dari ayat tersebut, jelas yang menurunkan wahyu kepada Nabi adalah Jibril, bukan Muhammad sendiri secara otomatis hafal begitu saja.

2. QS. al-Furqôn: 32-33.
Berkatalah orang-orang yang kafir, "Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). 33Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.

Berpegang pada kedua ayat ini, Dr. ‘Umar bahkan mengkategorikan perkataan Ibn ‘Arobi adalah perkataan orang kafir.

3. QS. al-Qodar: 1
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan.

4. QS. al-‘Alaq: 1.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

Pertama kali turun wahyu, Nabi tidak menyanggupi permintaan Jibril. Mâ anâ biqôri terlontar tiga kali. Logikanya, bagaimana seorang yang ummi bisa hafal al-Quran, padahal pada malam itu juga beliau diberi wahyu pertama kali.

5. Ketika Nabi ditanya tentang ruh, kisah al-Kahfi (ashabul kahfi), dan juga kisah Dzulqornain, Nabi tidak langsung menjawab, dikarenakan belum tahu. Akan tetapi, esoknya akan dijawab oleh Nabi setelah turun wahyu kepadanya. Pun begitu, Ibn ‘Arobi tetap saja ngeyel dan tetap saja berkukuh bahwa Nabi telah mengetahui al-Quran sebelum turunnya. Adapun Nabi tidak menjawab, menurutnya itu hanyalah salah satu metode Nabi dalam berdakwah saja.


Konsep Wali

Ditulis di kitab ini definisi wali menurut kaum torîqoh Tijâniyyah “seseorang yang diberi otoritas (diwalikan) Allah atas perintah-Nya, secara keistimewaan, serta mengetahui (musyâhadah) atas perbuatan-perbuatan -Nya dan sifat-sifat- Nya”. Menurut Dr. ‘Umar sendiri, makna perwalian dalam kalangan sufi menjadi jurang pemisah kedudukan antara syaikh dan muridnya, seperti sang wali itu sendiri –yang tidak dapat diketahui terkecuali kaum khowâsh- dengan para muslimin awam. Ketika Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad at-Tijani dilontari pertanyaan tentang manakah yang lebih sulit (diketahui) apakah Allah sendiri ataukah wali? Syaikh Abu al-‘Abbas menjawab dengan jelas: wali Allah lebih sulit diketahui. Sebabnya, sifat-sifat Allah jelas-jelas berbeda dengan sifat makhluk, sedangkan sifat-sifat dan ciri-ciri wali tidak berbeda dengan sifat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, wali tidak dapat diketahui kecuali kaum khowâsh.

Lebih jauh lagi, Sayyid Abu al-‘Abbas al-Mursi memuji wali lebih dalam. Seandainya sang wali menunjukkan diri kepada khalayak, bisa-bisa wali tersebut malah disembah. Sesungguhnya hakikat wali berbeda sama sekali dengan manusia pada umumnya, karena dalam dirinya terdapat akhlak ilahiyah yang esoterik dan eksoterik. Bahkan, lingkupan perwalian lebih luas daripada Nabi. Dikarenakan, lingkupan dakwah nabi hanya dikhususkan bagi umat mereka saja, sedangkan daerah kerja wali lebih umum. Hal inilah yang dikecam Dr. ‘Umar atas kedudukan wali yang lebih utama daripada nabi, bahkan Dr. ‘Umar menyebutnya ini adalah kesesatan yang nyata, “dholâl mubîn”.

Masih mengenai at-Tijani, Dr. ‘Umar mengecam teori-teori dan perkataan-perkataan at-Tijani yang menurutnya tidak layak keluar dari mulut seorang hamba mukmin, bahkan bisa saja ia mati dalam keadaan kafir! At-Tijani sendiri mendeklarasikan dirinya sebagai sayyidul auliyâ, dan ia juga sebagai qutub yang “tersembunyi” dari semua makhluk (hanya ia sendiri dan Allah yang mengetahui), bahkan mensejajarkan ruh Rasulullah dengan ruhnya sendiri berkedudukan sama!

Khotamul Auliyâ

Bagi kaum sufi, khotamul auliyâ adalah posisi yang sangat penting. Hal ini disebabkan teori khotamul auliyâ-nya sang sufi kontroversial: Ibn ‘Arobi. Dia berpendapat –tentang wahdatul wujûd-, ilmu ini (wahdatul wujûd) hanya dimiliki khotamul anbiyâ dan khotamul auliyâ. Tak ada seorang nabipun yang dapat mengetahui ilmu ini kecuali dari cahaya (petunjuk) khotamul anbiyâ. Begitu juga dengan wali, tidak dapat mengetahuinya kecuali dari cahaya khotamul auliyâ. Karena suatu saat nanti risalah Nabi dan syariat akan terputus, sedangkan perwalian akan tetap maujud.

Masih menurut Ibn ‘Arobi, khotamul auliyâ mempunyai 2 kelebihan dibandingkan khotamul anbiyâ:

1. Khotamul auliyâ mendapat ilmu dari Tuhan secara langsung, sedangkan khotamul anbiyâ melalui perantara malaikat.

2. Khotamul auliyâ yang akan menyempurnakan agama, karena Rasulullah hanya mengajarkan sebagian, maka tugas khotamul auliyâlah yang akan menyempurnakannya.

Karena dua kelebihan inilah, maka para sufi ”mengkampanyekan” diri bahwa ialah sang khotamul auliyâ. Dr. ‘Umar menyebut Ahmad at-Tijani, Ibn ‘Arobi, dan Abu Yazid al-Busthomi mengaku sebagai khotamul auliyâ.

Dr. ‘Umar sendiri mendefinisikan wali sebagai seorang mukmin yang diberi hidayah oleh Allah, taqwa serta cinta kepadaNya. Hujjah dari kitab suci sudah jelas, QS. Yûnus: 62-64, QS. al-Baqarah: 258, QS. al-Isrô: 111.

Mengutip Abu Bakar al-Jazairi dalam ‘Aqîdatul Mukmin, wali memiliki 4 tingkatan:

1. Tertinggi, adalah tingkatannya para nabi dan rosul.

2. Mulia (al-‘âliyah), adalah tingkatan orang-orang terdahulu yang dekat kepada rasul.

3. Menengah, adalah tingkatan orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
4. Dasar, adalah tingkatan orang-orang yang lemah iman dan taqwanya.

Akan tetapi Ibn Taimiyah sendiri mengkategorikan wali ada dua macam: wali ‘âm yang mencakup semua orang mukmin, dan wali khôsh yang lebih unggul dari wali ‘âm. Ini didasari dari QS. Yûnus: 62-63

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 63(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa

Konsep Karomah

Karomah berfungsi sebagai alat dakwah. Adapun hal-hal yang yang tidak umum (khôriqul ‘âdah) itu adalah cirinya sekaligus kelebihannya, agar orang-orang tertarik, lalu risalah-risalah Allah disampaikan melalui itu. Ibn Taimiyah memberi batasan antara mukjizat dan karomah. Mukjizat adalah sesuatu (things) yang sangat agung yang hanya terdapat pada (diri) Nabi, sebagai bukti atas ke-shidq-kannya. Sedangkan karomah hampir seperti mukjizat, hanya saja karomah tidak sebesar mukjizat, dan bukanlah tipuan atau sihir, karena semuanya bersumber dari Allah SWT.

Ibn Taimiyah sendiri tidak memberi penjelasan tentang pembeda antara karomah dan sihir. Hanya ada 3 kategori –menurut penulis- yang dapat dijadikan landasan untuk mengetahui apakah sesuatu yang menyalahi hukum kehidupan itu karomah, ataukah malah sihir: tujuan (kepentingan), sifat, dan pihak yang membantu.

Dr. ‘Umar mengutip macam-macam karomah dari buku al Kawakib al Durriyyah yang ditulis 'Abdul Rauf al-Manawi. Disebutkan yang paling tinggi adalah menghidupkan orang mati, seperti yang terjadi oleh Abu ‘Abid al-Yusri, al-Kailani, Abu Yusuf ad-Dahani. Lalu setelahnya, dapat mendengarkan percakapan benda-benda mati, bepergian dengan malaikat, bercakap dengan orang mati, dsb.

Permasalahan Syariat vis â vis Hakikat

Syariat adalah eksoterik, sedangkan hakikat adalah esoterik. Begitulah pandangan kaum intelektual kontemporer. Sejatinya, syariat dan hakikat berjalan beriringan, tak ada syariat tanpa hakikat, begitu juga sebaliknya. Kedua hal ini bagaikan sebuah benda dengan bayangannya, atau manusia dengan ruhnya. Pada awalnya, syariat dan tasawuf (ilmu hakikat) berjalan dengan damai, tapi pada masa zaman pertengahan (semenjak zaman Imam Ghozali atau perang salib) kedua hal ini tampak berbentrokan. Hal ini yang dibahas Dr. ‘Umar menurut kacamata kaum sufi itu sendiri.

“Barangsiapa bertasawuf namun tidak bersyariat, maka ia adalah zindiq, dan barangsiapa bersyariat tanpa bertasawuf maka ia adalah fasiq. Dan barangsiapa mengelaborasi keduanya maka itulah yang benar”. Dr. ‘Umar mengomentari qaul masyhur yang dinisbatkan kepada Imam Malik ini. Dalam argumen beliau, tidak mungkin qaul ini keluar dari mulut Imam Malik, bahkan Dr. ‘Umar menuduh (kaum sufi) berbohong dan mencatut nama besar Imam Malik saja. Bagaimana mungkin Imam Malik penyebar syariat itu sebegitu mudahnya mengkategorikan orang menjadai zindiq atau fasiq. Apalagi di zaman Imam Malik istilah tasawuf belum dikenal, melainkan istilah zuhud.

Dalam hal lain, Dr. ‘Umar menyimpulkan tujuan tasawuf adalah membuat umat Islam jumud dan terbelakang. Hal ini dikarenakan kekuatan mistisme yang terlalu ditonjolkan tanpa mau bernalar dan berijtihad. Murid harus patuh pada semua perkataan syaikh, meninggalkan kesibukan dunia, dan berbagai macam bid’ah lainnya. Karena kepatuhan mutlak inilah mursyid menjadi superior dan semakin mengukuhkan supremasinya atas muridnya yang masih awam. Beliau menukil satu qaul Imam Junaid yang menyukai murid yang tidak menyibukkan diri dalam 3 hal: pekerjaan, mencari hadits, dan membaca dan menulis. Tampak jelas sekali, tanpa adanya kegiatan tulis-menulis, ilmu tidak akan didapat, dan murid akan tetap berada dalam kungkungan kejumudan.

Dr. ‘Umar setuju dengan pendapat Ibn Taimiyah yang membatasi kepatuhan murid terhadap syaikhnya. Kepatuhan terhadap syaikh selama: 1. tidak menyalahi agama (tidak bermaksiat kepada Allah); dan 2. tidak menuruti keinginan hawa nafsu syaikh, yang bukan bersumber dari agama dan untuk agama. Taklid buta sangat dihindari, hendaknya para murid harus mengetahui batasan-batasan halal-haram, syubhat-sunnat, bid’ah, dsb.

Khulasoh al Kalam

Dalam sebagian besar buku yang spektakuler ini, Dr. ‘Umar menyanggah (me-radd) pandangan-pandangan kaum sufi yang ia anggap konyol, tidak masuk akal, bid’ah, khurofat, fasiq, bahkan kafir. Seringkali beliau mempertanyakan status keislaman mereka, dengan nada tuduhan –gaya Wahabi- yang tidak enak didengar. Kesalahan-kesalahan kaum sufi diekspose secara berulang-ulang dan terlalu sering menggeneralisir teori (konsep/pendapat) sufi. Satu contoh, sufi seperti at-Tijani, Abu Yazid al-Busthomi, al-Hallaj, Ibn ‘Arobi, Ibn al-Faridh –dengan nada yang sentimentil- dibabat semua pendapatnya tanpa terkecuali, hingga murid-murid dan pengikutnya. Walhasil, metodologi penulisan kitab ini menjadi agak berat sebelah dan kurang familiar dengan orang-orang tasawuf (sûfiyah). Menurutnya, Ibn Taimiyah adalah sufi moderat, yang sama sekali tidak suka dengan taklid buta dan memerangi kejumudan, walaupun tidak sedikit beberapa anggapan kaum sufi (yang dianggap salah) “hanya” dilawan dengan dalil naqli saja. Maka, nash menjadi sebuah pintu gerbang Islam yang tidak dapat dimasuki pendapat lain yang berlawanan (kontroversial) . Begitu tidak sesuai dengan al-Quran ataupun hadits –tentu saja menurut penafsirannya- , maka dijustifikasi keluar dari mainstream Islam. Hal ini bisa dimaklumi penulis, sebab latar belakang Dr. ‘Umar adalah pengajar dakwah yang memang mainstreamnya melawan keterbelakangan dan hal-hal yang khurofat, demi berdakwah menuju Islam yang maju.

Hanya melalui coretan-coretan yang jauh dari sempurna inilah yang bisa penulis sampaikan isi buku Syubhât at-Tashawwuf karangan Dr. ‘Umar. Tentunya masih sangat banyak kekurangan yang penulis rasa. Toh, semua itu adalah proses meuju arah yang lebih progresif. Amîn. Akhirnya, kepada semua kawan-kawan, selamat berdiskusi!

Catatan:

  • Makalah disajikan untuk diskusi bedah buku Rakhma, dari buku Syubhât at-Tashawwuf karangan Dr.Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Quraisy, pengajar Da’wah Islamiyyah Universitas al-Azhar.
  • Haji Mutamakkin, berasal dari Kajen, Pati. Beliau menulis dalam serat Caboleknya bahwa sholat itu tidak wajib. Inilah yang menjadikannya kontroversial. Dikisahkan Haji Mutamakkin adalah seorang waliyullah, maka tidak heran haulnya yang jatuh tiap tanggal 10 Muharram ratusan ribu orang berziarah ke makam beliau. Haulnya digelar selama satu minggu. Bisa dilihat di wikipedia.
  • Sumber referensi lain:
  1. ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, at-Tafkir Farîdloh Islâmiyyah (Cairo, Dar al-Rasyad al-Haditsah, tt) dalam bab Tasawwuf.
  2. Prof. Dr. ‘Abdul Sattar ar-Rawi, dalam jurnal Nuansa, Juli 2006.
  3. Prof. W. Montgmery Watt, The Majesty That Was Islam -terj. (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1990)

4 comments:

Hejis said...

Setelah menemukan makanan-makanan ringan saat blogwalking, saatnya kini menemukan makanan kelas berat di sini. Lumayan. Terima kasih postingannya yah. Semoga tetap semangat...

Mas Uut said...

Okey, makasih Pak Hejis :D

Murid Baru said...

Artikel yang digarap serius dan lengkap. Terima kasih mas. Salam kenal, salam hangat.

Artikel terbaru dari Murid Baru: Kepedulian pada Bencana Mungkin Sekadar Pola Hidup Topikal

Mas Uut said...

dibilang serius sih juga nggak terlalu pak. soalnya ni makalahku buat diskusi tempo hari. kurang beberapa pembanding, biar seimbang.
salam kenal juga, yang hangat, sehangat teh manis