Prolog
Studi tentang Islam selamanya tidak pernah stagnan. Terus berdinamika dan berkembang dari embrio lalu bercabang-cabang dan membentuk berbagai macam disiplin ilmu yang baku. Beberapa studi tentang Islam diantaranya: fiqh, tashawwuf, bahasa arab, teologi, filsafat, tafsir dan hadits. Lalu tiap-tiap studi ini beranak pinak dan memunculkan berbagai studi baru. Dalam fiqh mengeluarkan cabang ibadah, mawarits, fiqh siyasah, fiqh sosial, ushul fiqh, dll. Begitu juga dengan tafsir, al quran yang berkedudukan sebagai qanun asasi akhirnya memunculkan 'ulum quran, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan untuk memahami al quran. Dalam cakupan yang lebih kecil dan lebih spesifik, ada ilmu tafsir yaitu ilmu, alat dan metode yang dibutuhkan seorang mufassir untuk mencari makna al quran.
Sejarah memberikan dokumentasi, ulum tafsir datang lebih akhir dari tafsir itu sendiri. Lebih jelasnya, produk dihasilkan lebih dahulu daripada alat-alat dan metodenya. Sungguh mengherankan. Padahal pada disiplin-displin ilmu lain, produk tentu dihasilkan setelah diadakan proses (ijtihad) dengan metode-metode dan alat-alatnya. Dikarenakan jauh sebelum al quran menjadi sebuah kumpulan yang utuh, Rasul sendiri menafsirkan makna yang tidak diketahui para sahabat. Oleh sebab itu, tradisi tafsir sudah berjalan jauh sebelum tafsir itu sendiri diletakkan sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Tafsir al quran secara keseluruhan sudah dimulai oleh Ibn Jarir al Thabari (w. 310 H) walau sebelumnya pernah ditulis tafsir secara parsial saja, seperti yang ditulis bersama dengan pembukuan hadits, seperti yang dilakukan Ibn Hammam (w. 211 H), Yazid bin Harun (w. 117 H). Baru pada periode berikutnya ulama menulis ulum al quran an sich walaupun tidak secara keseluruhan, tetapi hanya beberapa pokok bahasan yang ditulis secara parsial, seperti 'Ali al Madini yang menulis tentang asbab nuzul, syaikhnya Imam Bukhari (w. 234 H), lalu al Qasim bin Salam (w. 224H) tentang nasikh mansukh dan qiraat, dan ulama-ulama lainnya.
Di sini kita akan membahas seorang tokoh yang sangat mumpuni dalam diskursus 'ulum al quran, Imam Suyuthi.
Biografi Imam Suyuthi
Nama beliau adalah Jalaluddin Abul Fadl Abdurrahman bin Muhammad al Suyuthi al Syafi'i . Lahir tahun 849 H di Asyut, Mesir. Tepatnya setelah maghrib malam ahad bulan Rajab. Ada kemungkinan keluarga ini berasal dari timur, sebab penisbatan al Khudlairi pada dirinya juga kepada suatu tempat di Baghdad (seperti yang disebutkan dalam Husn al Muhâdlarah). Beliau mendengar orangtuanya berkata bahwa leluhurunya dari timur.
Beliau tumbuh dalam iklim keluarga yang cerdas dan berintelektual. Sejak umur beliau 5 tahun 7 bulan, ayahnya meninggal, maka hiduplah belaiu sebagai seorang yatim. Sebelum umurnya mencapai 8 tahun sudah selesai menghafal al Quran, lalu diteruskan dengan kitab al 'Umdah, Minhâj al Fiqh wa al Ushûl, dan Alfiyah bin Mâlik.
Ayahnya meninggal tepatnya di Kairo tahun 855 H bulan Shafar. Dia adalah Qâdhi Asyut sebelum pergi ke Kairo dan menjadi pengajar fiqh di Jâmi' al Syaikhûni dan khotib di Jâmi' Ibn Thoulun.
Imam Suyuthi menjadi masyhur dalam sejarah peradaban dan keintelektualan Islam bukan karena dia yang mempopulerkan dirinya sendiri. Ini hanya semata-mata karena akhlaqnya yang terpuji, yang membuatnya mendapatkan kedudukan yang tinggi diantara para ulama. Tawadlu', jauh dari takabbur dan sombong, zuhud, dan tidak suka dengan kemewahan dunia. Tidak menyibukkan diri dalam dunia perpolitikan, selain juga pada saat itu terjadi pergesekan antara penguasa dan ulama. Suyuthi diriwayatkan menolak hadiah-hadiah yang diberikan para pejabat. Disaat para penguasa memintanya berkali-kali menerima sejumlah uang, beliau malah menolak. Sultan saat itu (Qonsuh al Ghouriy) berkata pada hari wafat Suyuthi: Syaikh tidak pernah menerima apapun dari kami.
Tahun 872 H ia menjabat syaikh di madrasah al Syaikhûniyyah, lalu saat usianya 71 tahun menjadi sebagai syaikh shûfiyyah.
Awal pengembaraan menimba ilmu dimulai dari negri Mesir, di kota Asyut, Fayum, Iskandariah, dan kota-kota lainnya. Lalu ke Makkah untuk haji dan berguru kepada ulama tanah hijaz. Sempat juga mengunjungi Syam, Yaman, Tunisia, India, Mali, dan negara-negara di afrika barat.
Guru-guru Imam Suyuthi
Diantara guru-gurunya yang sempat terlacak oleh penulis adalah:
1. Imam Sholih al Bulqini (w. 868 H)
2. Imam Syarofuddin Yahya bin Muhammad al Manawi (w. 871 H)
3. Syaikh Syihabuddin Ahmad bin 'Ali al Syafi'i (w. 865 H)
4. Syaikh Taqiyuddin Abul 'Abbas (w. 872 H)
5. Syaikh Muhyiddin Muhammad bin Sulayman (w. 874 H)
Dan masih banyak lagi yang jumlahnya mencapai 600 guru seperti yang disebutkan dalam Mu'jam Kabîr.
Ijtihad Suyuthi dalam 'Ulum al Quran
Suyuthi menulis al Itqan ini setelah ia menulis al Tahbir fi 'Ulûm al Qurân dan setelah membandingkan dengan karya Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulûm al Qurân. Ternyata kitab Imam Zarkasyi ini lebih ringkas dan langsung kepada pokok pembahasan, yang jumlahnya mencapai 47 pokok bahasan, sedangkan al Tahbir terlalu banyak (mencapai 102 pokok bahasan), maka Suyuthi menulis al Itqân dengan pokok bahasan yang lebih tepat daripada kitabnya yang sebelumnya. Dalam al Itqan, Suyuthi hanya menuliskan 80 macam pembahasan saja. Ada kemungkinan beliau membuat kitab ini adalah revisi dari kitab al Tahbir, setelah membandingkan dengan al Burhan karya Imam Zarkasyi. Sekaligus al Itqân ini menjadi mukaddimah atas tafsir besarnya, Majma' al Bahrain wa Mathla' al Badrain. Setidaknya, Suyuthi telah membaca 124 buku yang berkaitan dengan 'ulum al quran untuk menulis al Itqân.
Teori Penurunan Wahyu (al Quran)
Bahwa al Quran adalah verbum dei (kalam Allah), bukan buatan Muhammad sudah maklum dan menjadi kesepakatan tiap muslim yang tak akan berubah. Barangsiapa yang mengingkari atau tidak beriman kepada al Quran dipandang kafir, sesuai dengan pendangan Islam mengenai iman, dan menjadi keharusan teologis setap muslim. Lalu bagaimanakah wahyu itu turun kepada Nabi, padahal ia turun harus melalui perantara (malaikat). Dan tidak bisa menafikan begitu saja peranan malaikat pembawa wahyu.
Ada 3 ayat yang menjadi titik tolak dalam penelitian ulama bagaimanakah al quran itu turun.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al Baqarah: 185
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
QS. Al Qadr: 1
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan”
QS. Al Dukhan: 3
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.”
Dari ketiga dalil di atas, dapat ditarik kesimpulan:
1. Al Quran turun secara gradual ke bait al 'izzah di langit bumi, lalu turun kepada Nabi selama 20, 23 atau 25 tahun secara berangsur-angsur menurut kejadian dan persitiwa yang terjadi sejak ditetapkannya Muhammad sebagai Rasulullah. Pendapat ini didukung dengan berbagai riwayat dari Ibn 'Abbas, sahabat Nabi yang dipandang memiliki otoritas dalam al Quran dan qiraat.
2. Yang dimaksud dengan ketiga ayat di atas adalah awal pewahyuan kepada Muhammad. Awal turunnya dimulai pada laylah al qadr pada bulan ramadlan, atau yang disebut dengan malam yang diberkati. Lalu turun wahyu setelahnya secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dalam QS. Al Furqan: 32-33, tujuan dari diturunkannya secara berangsur-angsur agar memantapkan hati Nabi. Lebih eksplisit lagi, malam itu adalah malam perang badar, yang artinya ketiga ayat tersebut sesuai juga dengan QS. Al Anfal: 41. pendapat ini didukung dengan riwayat dari al Sya'biy.
3. Al Quran turun kepada Nabi dalam 20, 23, atau 25 kali laylah al qadr. Pada tiap malam qadr itu Allah menurunkan wahyu untuk satu tahun ke langit, lalu diberikannya wahyu itu kepada Muhammad secara berangsur-angsur menurut kejadian dan peristiwa yang terjadi, dan sesuai dengan kebutuhan manusia pada masa itu.
Sedangkan jika dipandang menurut objek wahyu yang dibawa Jibril ini, setidaknya dapat dirangkum ada 3 teori:
1. Yang dibawa Jibril adalah lafadz sekaligus maknanya.
2. Jibril hanya mengantarkan makna-makna khusus saja, dan Nabi tentunya paham dengan makna itu. Lalu ia sampaikan kepada manusia dengan bahasa arab, bahasa komunikasinya dan bahasa kaumnya. Namun hal ini akan menimbulkan anggapan lain, kalam al quran adalah kalam Muhammad.
3. Jibril menyampaikan maknanya saja dan ia menyampaikan makna ini dengan bahasa arab.
Akhirnya Suyuthi menyimpulkan 2 kategorisasi kalam Allah: pertama, bagian yang dikatakan Jibril, dengan cara Jibril mendengar apa yang disampaikan Allah, tetapi ia menyampaikannya kepada Nabi dengan redaksi yang berbeda. Kedua, bagian yang dikabarkan Allah kepada Jibril, dan beliau mentaatinya sebagai sebuah kalam mutlak yang tidak boleh dan tidak bisa dirubah satu hurufpun. Maka Jibril mengabarkannya kepada Nabi seakan-akan ia sedang membacakan sepucuk surat. Yang dimaksud dengan ktegori pertama adalah sunnah, lalu yang masuk dalam kategori kedua adalah al quran.
Kategorisasi Makkiyah dan Madaniyyah
Imam Baihaqi dalam Dalail al Nubuwwah menyatakan: surat-surat madaniyyah ada 29, sedangkan yang masuk makiyyah ada 83.
Sedangkan dalam kitab Mabahits fi 'Ulum al Quran-nya Manna' al Qatthan, surat madaniyyah ada 20, yang mukhtalaf (apakah itu termasuk makkiyyah ataukah madaniyyah) ada 12, dan sisanya 72 surat adalah makkkiyyah.
Lalu ada Ibn Dlurais dalam Fadlail al Quran: surat-surat madaniyyah ada 28, makkiyyah ada 87, sebagaimana yang ia kutip dari Ibn 'Abbas.
Setidaknya ada 3 makna tentang kategorisasi makkiyyah dan madaniyyah:
1. makkiyyah yang turun sebelum hijrah, madaniyyah setelah hijrah. Ini adalah pendapat yang paling masyhur.
2. makkiyyah yang turun di Makkah walaupun stelah hijrah, seangkan madaniyyah yang turun di Madinah. Dari pendapat ini malah menimbulkan kategorisasi lain, yaitu yang turun di luar kedua kota itu. Suyuthi mengomentari: kategorinya tetap 2, makkiyah dan madaniyah. Yang termasuk di makkiyah adalah Makkah dan sekitarnya, seperti Mina, 'Arafat, Hudaibiyah, dan yang termasuk madaniyah adalah yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti di Badr, Uhud,
3. makkiyyah adalah wahyu yang ditujukan untuk penduduk Makkah, dan madaniyyah adalah wahyu yang ditujukan kepada penduduk Madinah. Pendapat ini didukunng dengan riwayat Ibn Mas'ud.
Berhubung ruwetnya pengategorisasian surat ini, maka dicarilah cara untuk membedakan apakah ayat atau surat termasuk dalam kategori makkiyyah ataukah madaniyyah:
1. Sima'i naqli, yaitu dengan mencari riwayat dari sahabat yang hidup pada masa penurunan wahyu. Sebab pada masa Rasul, beliau tidak memberi informasi apapun. Sedankan ilmu asbab al nuzul ataukah nasikh mansukh diketahui dan dipelajari setelah masa Nabi. Maka hal ni dapat kita lacakk kepada para sahabat dan tabiin.
2. Qiyasi ijtihadi, yaitu dengan cara berijtihad sendiri, lebih tepatnya menjadikan karakterisasi ayat-ayat makkiyyah ataupun madaniyyah sebagai barometer.
Untuk dapat mengetahui kategorisasi ayat atau surat melalui ijtihad, para ulama mengorek-ngorek karakteristik dari tiap-tiap ayat makkkiyyah ataupun madaniyyah sebagai berikut:
Makkiyyah
- tiap surat yang terdapat ayat sajdah.
- tiap surat yang terdapat lafadz "kalla".
- tiap surat yang terdapat lafadz "ya ayyuha al nas" dan tidak terdapat lafadz "ya ayyuha al ladzina amanu", terkecuali QS. Al Hajj.
- tiap surat yang terdapat kabar para nabi dan umat terdahulu.
- tiap surat yang terdapat peristiwa tentang adam dan iblis, kecali QS. Al Baqarah.
- tiap surat yang dimulai dengan huruf tahajji spert Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, kecuali QS. Al Baqarahdan Ali 'Imran, dan mukhtalaf pada QS. Al Ra'd.
- tiap surat yangmenyeru kepada keesaan Allah dan menyembahNya, ari kiamat, surga dan neraka, ayat-ayat kauniyyah (tentang alam semesta), dan ayat-ayat tentang kengeyelan musyrikin.
- Peletakan asas-asas yang mulia.
Madaniyyah:
- tiap surat yang menerangkan tentang kewajiban ataupun hadd.
- tiap surat yang menerangkan tentang kaum muanafik, kecuali QS. Al Ahzab.
- tiap surat yang berisitentang dialog ataupun perseteruan denngan ahli kitab.
- tiap surat yang menerangkan ibadah, muamalah, hadd, tata aturan rumahtangga, mawarits, jihad, dan pembahasan syariat yang lainnya.
- Karakteristik ayatnya yang panjang (secara fisik) yang menerangkan tentang syariat dan mencantumkan tujuannya.
Karya-karya Imam Suyuthi
1. Dalam bidang tafsir dan 'ulum al quran:
- al Itqân fi 'Ulûm al Qurân, tercetak.
- al Tahbir fi 'Ulûm al Qurân, tercetak.
- Tafsîr al Jalâlain (bersama Jalaluddin al Mahalli), tercetak.
- Tanâsuq al Durar fî Tanâsub al Suwar atau yang disebut Asrâr Tartîb al Qurân, tercetak.
- al Durr al Mantsûr fî al Tafsir bi al Ma'tsûr, tercetak.
- Thabaqât al Mufassirîn, tercetak.
- Lubâb al Nuqul fî Asbâb al Nuzul, tercetak.
- Mu'tarak al Aqrân fî Musytarak al Qurân, tercetak.
- al Muhadzzab fî mâ Waqa'a fî al Qurân min al Mu'arrab, tercetak.
- Majma' al Bahrain wa Mathla' al Badrain fî al Tafsir, manuskrip tersimpan di Perpustakaan Museum Iraq, no. 8282.
- Mafâtih al Ghaib.
2. Dalam bidang hadits:
- Is'âf al Mubattha' bi Rijâl al Muwattha', tercetak.
- Jam' al Jawâmi' atau yang disebut al Jâmi' al Kabîr, tercetak.
- al Daybâj 'alâ Shahîh bin al Hajjâj, mansuskrip tersimpan di Dâr al Kutub al Mishriyyah, no. 113.
- Tanwîr al Hawâlik fî Syarh Muwattha' Imâm Mâlik, tercetak.
- al Jâmi' al Shaghîr li Ahâdits al Basyir al Nadzîr, tercetak.
- al Durar al Munatssarah fî al Ahâdits al Musytaharah, mansukrip tersimpan di Perpustakaan al Awqaf Baghdad, no. 2958.
- Thabaqât al Huffâdz, tercetak.
- 'Uqûd al Zabarjad 'ala Musnad al Imâm Ahmad, manuskrip tersimpan di Dâr al Kutub al Mishriyyah Kairo, no. B 24125.
- Mirqâh al Shu'ûd ilâ Sunan Abi Dâwud.
- Mishbâh al Zujâjah fî Syarh Sunan Ibn Mâjah, tercetak.
3. Dalam bidang fiqh
- al Azhâr wa al Fidllah fî Fiqh al Raudlah
- al Asybâh wa al Nazhâir fî Fiqh al Imâm al Syafi'i, tercetak.
- Tabyîdl al Shahîfah fî Manâqib Abî Hanîfah, manuskrip tersimpan di Perpustakaan al Awqaf Baghdad, no. 9984.
- al Jâmi' fî al Farâidl.
- al Hâwi fî al Fatâwa.
- al Fâriq Bayna al Munshif wa al Sariq. (?)
- Miftâh al Jannah fi al I'tisham bi al Sunnah, tercetak.
- al Yanbû' fî mâ Zâda 'alâ al Raudlah min al Furu'.
4. Dalam bidang bahasa:
- al Akhbâr al Marwiyyah fî Sabab Wadl'i al 'Arabiyyah, manuskip tersimpan di Perpustakaan Museum Baghdad, no. 9221.
- al Asybâh wa al Nazhâir fî al Nahw, tercetak.
- al Alfâdz al 'Arabiyyah, tercetak.
- al Bahjah al Mardliyyah fî Syarh al Alfiyyah, tercetak.
- al Tausyîh 'alâ al Taudlîh.
- al Farîdah fî al Nahw wa al Tashrîf wa al Khath, tercetak.
- Ham' al Hâwami' fî Syarh Jam' al Jawâmi', tercetak.
5. Dalam ilmu balaghah:
- Syarh 'Uqûd al Jumân fî 'Ilmay al Ma'âni wa al Bayân, tercetak.
- al Nazhm al Badî' fî Madh al Syâfi', manuskrip tersimpan di Perpustakaan Museum Baghdad, no. 1883.
- Fath al Jalîl li al 'Abd al Dzalîl.
6. Dalam bidang sejarah dan adab:
- al Arj fî Ma'rifah al Farj, manuskrip tersimpan di Perpustakaan al Zhâhiriyyah Damaskus, no. 5896.
- Bahjah al Nazhr wa Nuzhah al Khâthir, manuskrip tersimpan di Dâr al Kutub al Mishriyyah Kairo, no. 32.
- Husn al Muhadlarah fi Tarikh Mishr wa al Qahirah, tercetak.
- Dîwân al Hayawân (mukhtasar dari kitab al Hayawân milik al Damiri), manuskrip tersimpan di Dâr al Kutub al Mishriyyah Kairo, no. 83 B.
- al Kanz al Madfûn wa al Falak al Masyhuh, tercetak.
- al Wasâil ila Ma'rifah al Awâil, tercetak.
7. Dalam bidang tashawwuf:
- Ta`yîd al Haqîqah al 'Aliyyah wa al Ta`kîd al Tharîqah al Syâdziliyyah.
- Tanbîh al Ghabi' ila Tabarruah Ibn 'Arabi.
- al Ma'âni al Daqîqah fî Idrâk al Haqîqah.
8. Dalam bidang kedokteran:
- Mukhtashar al Thibb al Nabawi, tercetak.
9. Dalam bidang mantiq (logika):
- al Qaul al Masyriq fî Tahrîm al Isytighâl bi al Manthiq, tercetak.
Epilog
Al quran merupakan kebenaran yang berasal wahyu Allah, bukan hasil pemikiran dan kajian manusia. Maka informasi yang ada dalam al quran tidak perlu dikaji kebenaran dan keakuratannya, karena ia adalah standar atau petron kebenaran yang diimani. Allah adalah kebenaran yang mutlak, al Haqq. Tugas manusia adalah menjadikan kebenaran al quran sebagai sumber rujukan dan inspirasi untuk mengembangkan cakrwala wawasan berpikir dalam rangka menemukan ilmu-ilmu yang aplikatif dari berbagai fenomena alam. Sudah menjadi keniscayaan, studi tentang quran terus berkembang dan tidak akan berjalan di tempat. Tidak menutup kemungkinan ilmu ini terus berkembang, hingga Imam Zarkasyi menulis dalam mukaddimah al Burhan fi ‘Ulum al Quran: fa innas shina’atu thowilah wal ‘umru qoshir. Pekerjaan meneliti ilmu ini adalah tak terhingga, tetapi umur jualah yang membatasi usaha itu. Bahkan Imam Suyuthi berasumsi, jika semua pembahasan dalam ulum al quran dispesifikasi lebih lanjut, jumlahnya lebih dari 300 jenis. 'Ulum al quran sebagai alat dan metode menjadi hal yang mutlak dikuasai tidak hanya bagi mufassir, tetapi juga diharapkan seluruh muslim yang mendalami makna dan kandungan al quran dalam berbagai dimensi. Tidak salah kalau Imam Suyuthi dijadikan salah satu ikon dalam diskursus ulum quran. Rasa rendah diri dalam akhlaknya, semangat dan begitu gigih dalam belajar membuatnya menguasai berbagai macam ilmu dan pengetahuan, lebih tepatnya multidispilin ilmu. Sudah sepatutnyalah bagi kita melecutkan semangat dan menyingsingkan lengan baju menuju arah progresifitas. Selamat berdiskusi!
Sumber:
Imam Suyuthi, al Itqan fi ‘Ulum al Quran (tahqiq Ahmad bin ‘Ali), Kairo: Dar al Hadits, 2006.
Majlis A’la li al Syuun al Islamiyyah, Mausu’ah A’lam al Fikr al Islami, Kairo.
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al Quran, Jakarta: Alvabet, 2005.
Darwis Hude dkk, Cakrawala Ilmu dalam al Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Manna’ al Qatthan, Mabahits fi ‘Ulum al Quran.
Studi tentang Islam selamanya tidak pernah stagnan. Terus berdinamika dan berkembang dari embrio lalu bercabang-cabang dan membentuk berbagai macam disiplin ilmu yang baku. Beberapa studi tentang Islam diantaranya: fiqh, tashawwuf, bahasa arab, teologi, filsafat, tafsir dan hadits. Lalu tiap-tiap studi ini beranak pinak dan memunculkan berbagai studi baru. Dalam fiqh mengeluarkan cabang ibadah, mawarits, fiqh siyasah, fiqh sosial, ushul fiqh, dll. Begitu juga dengan tafsir, al quran yang berkedudukan sebagai qanun asasi akhirnya memunculkan 'ulum quran, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan untuk memahami al quran. Dalam cakupan yang lebih kecil dan lebih spesifik, ada ilmu tafsir yaitu ilmu, alat dan metode yang dibutuhkan seorang mufassir untuk mencari makna al quran.
Sejarah memberikan dokumentasi, ulum tafsir datang lebih akhir dari tafsir itu sendiri. Lebih jelasnya, produk dihasilkan lebih dahulu daripada alat-alat dan metodenya. Sungguh mengherankan. Padahal pada disiplin-displin ilmu lain, produk tentu dihasilkan setelah diadakan proses (ijtihad) dengan metode-metode dan alat-alatnya. Dikarenakan jauh sebelum al quran menjadi sebuah kumpulan yang utuh, Rasul sendiri menafsirkan makna yang tidak diketahui para sahabat. Oleh sebab itu, tradisi tafsir sudah berjalan jauh sebelum tafsir itu sendiri diletakkan sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Tafsir al quran secara keseluruhan sudah dimulai oleh Ibn Jarir al Thabari (w. 310 H) walau sebelumnya pernah ditulis tafsir secara parsial saja, seperti yang ditulis bersama dengan pembukuan hadits, seperti yang dilakukan Ibn Hammam (w. 211 H), Yazid bin Harun (w. 117 H). Baru pada periode berikutnya ulama menulis ulum al quran an sich walaupun tidak secara keseluruhan, tetapi hanya beberapa pokok bahasan yang ditulis secara parsial, seperti 'Ali al Madini yang menulis tentang asbab nuzul, syaikhnya Imam Bukhari (w. 234 H), lalu al Qasim bin Salam (w. 224H) tentang nasikh mansukh dan qiraat, dan ulama-ulama lainnya.
Di sini kita akan membahas seorang tokoh yang sangat mumpuni dalam diskursus 'ulum al quran, Imam Suyuthi.
Biografi Imam Suyuthi
Nama beliau adalah Jalaluddin Abul Fadl Abdurrahman bin Muhammad al Suyuthi al Syafi'i . Lahir tahun 849 H di Asyut, Mesir. Tepatnya setelah maghrib malam ahad bulan Rajab. Ada kemungkinan keluarga ini berasal dari timur, sebab penisbatan al Khudlairi pada dirinya juga kepada suatu tempat di Baghdad (seperti yang disebutkan dalam Husn al Muhâdlarah). Beliau mendengar orangtuanya berkata bahwa leluhurunya dari timur.
Beliau tumbuh dalam iklim keluarga yang cerdas dan berintelektual. Sejak umur beliau 5 tahun 7 bulan, ayahnya meninggal, maka hiduplah belaiu sebagai seorang yatim. Sebelum umurnya mencapai 8 tahun sudah selesai menghafal al Quran, lalu diteruskan dengan kitab al 'Umdah, Minhâj al Fiqh wa al Ushûl, dan Alfiyah bin Mâlik.
Ayahnya meninggal tepatnya di Kairo tahun 855 H bulan Shafar. Dia adalah Qâdhi Asyut sebelum pergi ke Kairo dan menjadi pengajar fiqh di Jâmi' al Syaikhûni dan khotib di Jâmi' Ibn Thoulun.
Imam Suyuthi menjadi masyhur dalam sejarah peradaban dan keintelektualan Islam bukan karena dia yang mempopulerkan dirinya sendiri. Ini hanya semata-mata karena akhlaqnya yang terpuji, yang membuatnya mendapatkan kedudukan yang tinggi diantara para ulama. Tawadlu', jauh dari takabbur dan sombong, zuhud, dan tidak suka dengan kemewahan dunia. Tidak menyibukkan diri dalam dunia perpolitikan, selain juga pada saat itu terjadi pergesekan antara penguasa dan ulama. Suyuthi diriwayatkan menolak hadiah-hadiah yang diberikan para pejabat. Disaat para penguasa memintanya berkali-kali menerima sejumlah uang, beliau malah menolak. Sultan saat itu (Qonsuh al Ghouriy) berkata pada hari wafat Suyuthi: Syaikh tidak pernah menerima apapun dari kami.
Tahun 872 H ia menjabat syaikh di madrasah al Syaikhûniyyah, lalu saat usianya 71 tahun menjadi sebagai syaikh shûfiyyah.
Awal pengembaraan menimba ilmu dimulai dari negri Mesir, di kota Asyut, Fayum, Iskandariah, dan kota-kota lainnya. Lalu ke Makkah untuk haji dan berguru kepada ulama tanah hijaz. Sempat juga mengunjungi Syam, Yaman, Tunisia, India, Mali, dan negara-negara di afrika barat.
Guru-guru Imam Suyuthi
Diantara guru-gurunya yang sempat terlacak oleh penulis adalah:
1. Imam Sholih al Bulqini (w. 868 H)
2. Imam Syarofuddin Yahya bin Muhammad al Manawi (w. 871 H)
3. Syaikh Syihabuddin Ahmad bin 'Ali al Syafi'i (w. 865 H)
4. Syaikh Taqiyuddin Abul 'Abbas (w. 872 H)
5. Syaikh Muhyiddin Muhammad bin Sulayman (w. 874 H)
Dan masih banyak lagi yang jumlahnya mencapai 600 guru seperti yang disebutkan dalam Mu'jam Kabîr.
Ijtihad Suyuthi dalam 'Ulum al Quran
Suyuthi menulis al Itqan ini setelah ia menulis al Tahbir fi 'Ulûm al Qurân dan setelah membandingkan dengan karya Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulûm al Qurân. Ternyata kitab Imam Zarkasyi ini lebih ringkas dan langsung kepada pokok pembahasan, yang jumlahnya mencapai 47 pokok bahasan, sedangkan al Tahbir terlalu banyak (mencapai 102 pokok bahasan), maka Suyuthi menulis al Itqân dengan pokok bahasan yang lebih tepat daripada kitabnya yang sebelumnya. Dalam al Itqan, Suyuthi hanya menuliskan 80 macam pembahasan saja. Ada kemungkinan beliau membuat kitab ini adalah revisi dari kitab al Tahbir, setelah membandingkan dengan al Burhan karya Imam Zarkasyi. Sekaligus al Itqân ini menjadi mukaddimah atas tafsir besarnya, Majma' al Bahrain wa Mathla' al Badrain. Setidaknya, Suyuthi telah membaca 124 buku yang berkaitan dengan 'ulum al quran untuk menulis al Itqân.
Teori Penurunan Wahyu (al Quran)
Bahwa al Quran adalah verbum dei (kalam Allah), bukan buatan Muhammad sudah maklum dan menjadi kesepakatan tiap muslim yang tak akan berubah. Barangsiapa yang mengingkari atau tidak beriman kepada al Quran dipandang kafir, sesuai dengan pendangan Islam mengenai iman, dan menjadi keharusan teologis setap muslim. Lalu bagaimanakah wahyu itu turun kepada Nabi, padahal ia turun harus melalui perantara (malaikat). Dan tidak bisa menafikan begitu saja peranan malaikat pembawa wahyu.
Ada 3 ayat yang menjadi titik tolak dalam penelitian ulama bagaimanakah al quran itu turun.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al Baqarah: 185
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
QS. Al Qadr: 1
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan”
QS. Al Dukhan: 3
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.”
Dari ketiga dalil di atas, dapat ditarik kesimpulan:
1. Al Quran turun secara gradual ke bait al 'izzah di langit bumi, lalu turun kepada Nabi selama 20, 23 atau 25 tahun secara berangsur-angsur menurut kejadian dan persitiwa yang terjadi sejak ditetapkannya Muhammad sebagai Rasulullah. Pendapat ini didukung dengan berbagai riwayat dari Ibn 'Abbas, sahabat Nabi yang dipandang memiliki otoritas dalam al Quran dan qiraat.
2. Yang dimaksud dengan ketiga ayat di atas adalah awal pewahyuan kepada Muhammad. Awal turunnya dimulai pada laylah al qadr pada bulan ramadlan, atau yang disebut dengan malam yang diberkati. Lalu turun wahyu setelahnya secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dalam QS. Al Furqan: 32-33, tujuan dari diturunkannya secara berangsur-angsur agar memantapkan hati Nabi. Lebih eksplisit lagi, malam itu adalah malam perang badar, yang artinya ketiga ayat tersebut sesuai juga dengan QS. Al Anfal: 41. pendapat ini didukung dengan riwayat dari al Sya'biy.
3. Al Quran turun kepada Nabi dalam 20, 23, atau 25 kali laylah al qadr. Pada tiap malam qadr itu Allah menurunkan wahyu untuk satu tahun ke langit, lalu diberikannya wahyu itu kepada Muhammad secara berangsur-angsur menurut kejadian dan peristiwa yang terjadi, dan sesuai dengan kebutuhan manusia pada masa itu.
Sedangkan jika dipandang menurut objek wahyu yang dibawa Jibril ini, setidaknya dapat dirangkum ada 3 teori:
1. Yang dibawa Jibril adalah lafadz sekaligus maknanya.
2. Jibril hanya mengantarkan makna-makna khusus saja, dan Nabi tentunya paham dengan makna itu. Lalu ia sampaikan kepada manusia dengan bahasa arab, bahasa komunikasinya dan bahasa kaumnya. Namun hal ini akan menimbulkan anggapan lain, kalam al quran adalah kalam Muhammad.
3. Jibril menyampaikan maknanya saja dan ia menyampaikan makna ini dengan bahasa arab.
Akhirnya Suyuthi menyimpulkan 2 kategorisasi kalam Allah: pertama, bagian yang dikatakan Jibril, dengan cara Jibril mendengar apa yang disampaikan Allah, tetapi ia menyampaikannya kepada Nabi dengan redaksi yang berbeda. Kedua, bagian yang dikabarkan Allah kepada Jibril, dan beliau mentaatinya sebagai sebuah kalam mutlak yang tidak boleh dan tidak bisa dirubah satu hurufpun. Maka Jibril mengabarkannya kepada Nabi seakan-akan ia sedang membacakan sepucuk surat. Yang dimaksud dengan ktegori pertama adalah sunnah, lalu yang masuk dalam kategori kedua adalah al quran.
Kategorisasi Makkiyah dan Madaniyyah
Imam Baihaqi dalam Dalail al Nubuwwah menyatakan: surat-surat madaniyyah ada 29, sedangkan yang masuk makiyyah ada 83.
Sedangkan dalam kitab Mabahits fi 'Ulum al Quran-nya Manna' al Qatthan, surat madaniyyah ada 20, yang mukhtalaf (apakah itu termasuk makkiyyah ataukah madaniyyah) ada 12, dan sisanya 72 surat adalah makkkiyyah.
Lalu ada Ibn Dlurais dalam Fadlail al Quran: surat-surat madaniyyah ada 28, makkiyyah ada 87, sebagaimana yang ia kutip dari Ibn 'Abbas.
Setidaknya ada 3 makna tentang kategorisasi makkiyyah dan madaniyyah:
1. makkiyyah yang turun sebelum hijrah, madaniyyah setelah hijrah. Ini adalah pendapat yang paling masyhur.
2. makkiyyah yang turun di Makkah walaupun stelah hijrah, seangkan madaniyyah yang turun di Madinah. Dari pendapat ini malah menimbulkan kategorisasi lain, yaitu yang turun di luar kedua kota itu. Suyuthi mengomentari: kategorinya tetap 2, makkiyah dan madaniyah. Yang termasuk di makkiyah adalah Makkah dan sekitarnya, seperti Mina, 'Arafat, Hudaibiyah, dan yang termasuk madaniyah adalah yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti di Badr, Uhud,
3. makkiyyah adalah wahyu yang ditujukan untuk penduduk Makkah, dan madaniyyah adalah wahyu yang ditujukan kepada penduduk Madinah. Pendapat ini didukunng dengan riwayat Ibn Mas'ud.
Berhubung ruwetnya pengategorisasian surat ini, maka dicarilah cara untuk membedakan apakah ayat atau surat termasuk dalam kategori makkiyyah ataukah madaniyyah:
1. Sima'i naqli, yaitu dengan mencari riwayat dari sahabat yang hidup pada masa penurunan wahyu. Sebab pada masa Rasul, beliau tidak memberi informasi apapun. Sedankan ilmu asbab al nuzul ataukah nasikh mansukh diketahui dan dipelajari setelah masa Nabi. Maka hal ni dapat kita lacakk kepada para sahabat dan tabiin.
2. Qiyasi ijtihadi, yaitu dengan cara berijtihad sendiri, lebih tepatnya menjadikan karakterisasi ayat-ayat makkiyyah ataupun madaniyyah sebagai barometer.
Untuk dapat mengetahui kategorisasi ayat atau surat melalui ijtihad, para ulama mengorek-ngorek karakteristik dari tiap-tiap ayat makkkiyyah ataupun madaniyyah sebagai berikut:
Makkiyyah
- tiap surat yang terdapat ayat sajdah.
- tiap surat yang terdapat lafadz "kalla".
- tiap surat yang terdapat lafadz "ya ayyuha al nas" dan tidak terdapat lafadz "ya ayyuha al ladzina amanu", terkecuali QS. Al Hajj.
- tiap surat yang terdapat kabar para nabi dan umat terdahulu.
- tiap surat yang terdapat peristiwa tentang adam dan iblis, kecali QS. Al Baqarah.
- tiap surat yang dimulai dengan huruf tahajji spert Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, kecuali QS. Al Baqarahdan Ali 'Imran, dan mukhtalaf pada QS. Al Ra'd.
- tiap surat yangmenyeru kepada keesaan Allah dan menyembahNya, ari kiamat, surga dan neraka, ayat-ayat kauniyyah (tentang alam semesta), dan ayat-ayat tentang kengeyelan musyrikin.
- Peletakan asas-asas yang mulia.
Madaniyyah:
- tiap surat yang menerangkan tentang kewajiban ataupun hadd.
- tiap surat yang menerangkan tentang kaum muanafik, kecuali QS. Al Ahzab.
- tiap surat yang berisitentang dialog ataupun perseteruan denngan ahli kitab.
- tiap surat yang menerangkan ibadah, muamalah, hadd, tata aturan rumahtangga, mawarits, jihad, dan pembahasan syariat yang lainnya.
- Karakteristik ayatnya yang panjang (secara fisik) yang menerangkan tentang syariat dan mencantumkan tujuannya.
Karya-karya Imam Suyuthi
1. Dalam bidang tafsir dan 'ulum al quran:
- al Itqân fi 'Ulûm al Qurân, tercetak.
- al Tahbir fi 'Ulûm al Qurân, tercetak.
- Tafsîr al Jalâlain (bersama Jalaluddin al Mahalli), tercetak.
- Tanâsuq al Durar fî Tanâsub al Suwar atau yang disebut Asrâr Tartîb al Qurân, tercetak.
- al Durr al Mantsûr fî al Tafsir bi al Ma'tsûr, tercetak.
- Thabaqât al Mufassirîn, tercetak.
- Lubâb al Nuqul fî Asbâb al Nuzul, tercetak.
- Mu'tarak al Aqrân fî Musytarak al Qurân, tercetak.
- al Muhadzzab fî mâ Waqa'a fî al Qurân min al Mu'arrab, tercetak.
- Majma' al Bahrain wa Mathla' al Badrain fî al Tafsir, manuskrip tersimpan di Perpustakaan Museum Iraq, no. 8282.
- Mafâtih al Ghaib.
2. Dalam bidang hadits:
- Is'âf al Mubattha' bi Rijâl al Muwattha', tercetak.
- Jam' al Jawâmi' atau yang disebut al Jâmi' al Kabîr, tercetak.
- al Daybâj 'alâ Shahîh bin al Hajjâj, mansuskrip tersimpan di Dâr al Kutub al Mishriyyah, no. 113.
- Tanwîr al Hawâlik fî Syarh Muwattha' Imâm Mâlik, tercetak.
- al Jâmi' al Shaghîr li Ahâdits al Basyir al Nadzîr, tercetak.
- al Durar al Munatssarah fî al Ahâdits al Musytaharah, mansukrip tersimpan di Perpustakaan al Awqaf Baghdad, no. 2958.
- Thabaqât al Huffâdz, tercetak.
- 'Uqûd al Zabarjad 'ala Musnad al Imâm Ahmad, manuskrip tersimpan di Dâr al Kutub al Mishriyyah Kairo, no. B 24125.
- Mirqâh al Shu'ûd ilâ Sunan Abi Dâwud.
- Mishbâh al Zujâjah fî Syarh Sunan Ibn Mâjah, tercetak.
3. Dalam bidang fiqh
- al Azhâr wa al Fidllah fî Fiqh al Raudlah
- al Asybâh wa al Nazhâir fî Fiqh al Imâm al Syafi'i, tercetak.
- Tabyîdl al Shahîfah fî Manâqib Abî Hanîfah, manuskrip tersimpan di Perpustakaan al Awqaf Baghdad, no. 9984.
- al Jâmi' fî al Farâidl.
- al Hâwi fî al Fatâwa.
- al Fâriq Bayna al Munshif wa al Sariq. (?)
- Miftâh al Jannah fi al I'tisham bi al Sunnah, tercetak.
- al Yanbû' fî mâ Zâda 'alâ al Raudlah min al Furu'.
4. Dalam bidang bahasa:
- al Akhbâr al Marwiyyah fî Sabab Wadl'i al 'Arabiyyah, manuskip tersimpan di Perpustakaan Museum Baghdad, no. 9221.
- al Asybâh wa al Nazhâir fî al Nahw, tercetak.
- al Alfâdz al 'Arabiyyah, tercetak.
- al Bahjah al Mardliyyah fî Syarh al Alfiyyah, tercetak.
- al Tausyîh 'alâ al Taudlîh.
- al Farîdah fî al Nahw wa al Tashrîf wa al Khath, tercetak.
- Ham' al Hâwami' fî Syarh Jam' al Jawâmi', tercetak.
5. Dalam ilmu balaghah:
- Syarh 'Uqûd al Jumân fî 'Ilmay al Ma'âni wa al Bayân, tercetak.
- al Nazhm al Badî' fî Madh al Syâfi', manuskrip tersimpan di Perpustakaan Museum Baghdad, no. 1883.
- Fath al Jalîl li al 'Abd al Dzalîl.
6. Dalam bidang sejarah dan adab:
- al Arj fî Ma'rifah al Farj, manuskrip tersimpan di Perpustakaan al Zhâhiriyyah Damaskus, no. 5896.
- Bahjah al Nazhr wa Nuzhah al Khâthir, manuskrip tersimpan di Dâr al Kutub al Mishriyyah Kairo, no. 32.
- Husn al Muhadlarah fi Tarikh Mishr wa al Qahirah, tercetak.
- Dîwân al Hayawân (mukhtasar dari kitab al Hayawân milik al Damiri), manuskrip tersimpan di Dâr al Kutub al Mishriyyah Kairo, no. 83 B.
- al Kanz al Madfûn wa al Falak al Masyhuh, tercetak.
- al Wasâil ila Ma'rifah al Awâil, tercetak.
7. Dalam bidang tashawwuf:
- Ta`yîd al Haqîqah al 'Aliyyah wa al Ta`kîd al Tharîqah al Syâdziliyyah.
- Tanbîh al Ghabi' ila Tabarruah Ibn 'Arabi.
- al Ma'âni al Daqîqah fî Idrâk al Haqîqah.
8. Dalam bidang kedokteran:
- Mukhtashar al Thibb al Nabawi, tercetak.
9. Dalam bidang mantiq (logika):
- al Qaul al Masyriq fî Tahrîm al Isytighâl bi al Manthiq, tercetak.
Epilog
Al quran merupakan kebenaran yang berasal wahyu Allah, bukan hasil pemikiran dan kajian manusia. Maka informasi yang ada dalam al quran tidak perlu dikaji kebenaran dan keakuratannya, karena ia adalah standar atau petron kebenaran yang diimani. Allah adalah kebenaran yang mutlak, al Haqq. Tugas manusia adalah menjadikan kebenaran al quran sebagai sumber rujukan dan inspirasi untuk mengembangkan cakrwala wawasan berpikir dalam rangka menemukan ilmu-ilmu yang aplikatif dari berbagai fenomena alam. Sudah menjadi keniscayaan, studi tentang quran terus berkembang dan tidak akan berjalan di tempat. Tidak menutup kemungkinan ilmu ini terus berkembang, hingga Imam Zarkasyi menulis dalam mukaddimah al Burhan fi ‘Ulum al Quran: fa innas shina’atu thowilah wal ‘umru qoshir. Pekerjaan meneliti ilmu ini adalah tak terhingga, tetapi umur jualah yang membatasi usaha itu. Bahkan Imam Suyuthi berasumsi, jika semua pembahasan dalam ulum al quran dispesifikasi lebih lanjut, jumlahnya lebih dari 300 jenis. 'Ulum al quran sebagai alat dan metode menjadi hal yang mutlak dikuasai tidak hanya bagi mufassir, tetapi juga diharapkan seluruh muslim yang mendalami makna dan kandungan al quran dalam berbagai dimensi. Tidak salah kalau Imam Suyuthi dijadikan salah satu ikon dalam diskursus ulum quran. Rasa rendah diri dalam akhlaknya, semangat dan begitu gigih dalam belajar membuatnya menguasai berbagai macam ilmu dan pengetahuan, lebih tepatnya multidispilin ilmu. Sudah sepatutnyalah bagi kita melecutkan semangat dan menyingsingkan lengan baju menuju arah progresifitas. Selamat berdiskusi!
Sumber:
Imam Suyuthi, al Itqan fi ‘Ulum al Quran (tahqiq Ahmad bin ‘Ali), Kairo: Dar al Hadits, 2006.
Majlis A’la li al Syuun al Islamiyyah, Mausu’ah A’lam al Fikr al Islami, Kairo.
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al Quran, Jakarta: Alvabet, 2005.
Darwis Hude dkk, Cakrawala Ilmu dalam al Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Manna’ al Qatthan, Mabahits fi ‘Ulum al Quran.
No comments:
Post a Comment