Ini adalah lanjutan dari postinganku sebelumnya, Apakah Makna Tahun 2009 bagi Anda? Yang jelas, pemilu per-lima tahunan sudah membuat lelah dari segi fisik, pikiran, mental, dan finansial.
Sepanjang yang aku ketahui, pemilu Indonesia adalah pemilihan umum yang paling demokratis di dunia saat ini. Itu menurut pendapatku sendiri, setelah membandingkan dengan pemilu di Amerika sana yang nota bene menjadi empunya demokrasi. Asas pemilu luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur dan adil) hanya bisa diterapkan dengan sistem pemilu di Indonesia. Tidak seperti di Irak dahulu yang konon walaupun pemilu pertamanya dibantu oleh Amerika, hanya tertera 2 pilihan: Saddam Husen lagi; atau tidak. Nah, jelas Saddam menang dalam pemilu. Lha mau bagaimana lagi kalau pilihannya hanya dia dan orang lain yang fiktif, belum ditentukan siapa yang jadi lawan politiknya. Pun begitu di Amerika pemilu juga rawan akan kecurangan, pasalnya pemilihan dilakukan dengan sistem elektronik, sehingga data lebih mudah dirubah. Apalagi pemilu presiden tidak berdasarkan pemilih terbanyak seperti pada pemilu presiden atau pilkada di Indonesia, tetapi electoral college.
Kembali ke ranah Indonesia, pemilu tahun 2009 memang berbeda dari pemilu tahun 2004, atau tahun 1999. Fenomena baru banyak menjadi trend. Apalagi kalau bukan aksi merayu masyarakat untuk meraih suaranya, atau yang disebut para intelektual "kampanye".
Aku beruntung kberadaanku sekarang di Mesir, setidaknya pandanganku di jalan tidak menemukan hal-hal aneh, seperti baliho, spanduk, atau apalah. Sejujurnya, di Indonesia aku sudah tidak nyaman memandang wajah-wajah yang menanti tanggal 9 April. Wajah-wajah di baliho, spanduk, iklan, stiker, hingga di blog dihiasi dengan gambar partai, nomor urut, slogan-slogan, hingga ajakan atau rayuan untuk memilihnya menjadi wakil kita di legislatif. Jangan heran ada yang tanpa tedeng aling-aling dan tanpa malu meminta kita secara terang-terangan untuk memilih dengan kata: "pilih saya", ada juga yang dengan malu-malu, hingga hanya berkata: "mohon doa restu maju dalam pemilihan umum 2009", ada juga yang saking malunya atau kurang pede, meminta anak atau orangtuanya yang berkata: "pilih anak si Fulan", atau "mohon dukungannya, ayah saya maju dalam pemilu", dan yang memalukan, ada juga yang berkata: "coblos saya". Aku berhusnuzhan dengan yang minta dicoblos ini, dia sudah menyetak spanduk dan baliho lama sebelum mekanisme coblos diubah menjadi contreng, bukan karena dia tidak tahu.
Pun, mendadak partai-partai politik menggelar silaturahmi, seperti yang dilakukan warga desa selepas hari raya. Atau aksi bisa dilakukan dengan jamuan makan, yang penting lobi tingkat atas harus dilakukan. Yang paling menarik adalah kampanye terbuka. Pesta rakyat memang harus benar-benar meriah. Maka tak heran musik pop, rock dan -yang paling yahud- musik dangdut dipakai untuk penarik massa. Bagi yang punya dana lebih, bisa membagikan kaos, bendera, topi, stiker, payung, pernak-pernik partai, hingga mengganti ongkos lelah dan ongkos ramai peserta kampanye.
Lalu ada yang mempertanyakan validitas dan transparansi lembaga survei. Aku tak bisa berkomentar tentang hal ini, tapi yang jelas aku tidak percaya dengan objektifitas dan hasil survei. Karena survei hari ini bisa berubah esok hari, dan survei tidak menunjukkan pilihan semua orang.
Yang paling penting dalam kampanye adalah kepopuleran. Jika caleg tak dikenal, bagaimana konstituen bisa memilihnya? Ndak mungkin kan? Maka semua usaha di atas lazim dilakukan caleg agar rakyat mengenalnya. Narsis ndak mengapa, kan hal seperti ini cuma ada 5 tahun sekali. Yang diharapkan adalah suara rakyat, bukan yang lain. Terdengar naif memang, tapi begitulah kenyataannya. Dengan suara rakyat itu, mereka akan mewujudkan mimpi pertama: duduk di kusri legislatif. Setelah menjadi legislatif, baru memikirkan rakyat, kursi dan kedudukannya, mobil baru, rumah dinas, sidang dan rapat, atau apalah.
Kenyataan dan fenomena yang demikianlah yang membuat pemilu 2009 ini menjadi kompleks dan aneh. Masih menurutku, yang terpenting dalam kampanye justru ada dalam visi & misinya, tentang latar belakangnya, kiprah politiknya, track recordnya, dan perjuangannya untuk rakyat. Apakah dia berjuang untuk sekelompok golongan, atau partai, atau berjuang untuk seluruh rakyat. Janji-janji yang mudah diucapkan justru membuat telingaku muak, memaksa otak untuk menolaknya. Menjatuhkan golongan atau partai lain juga tak kalah busuk dengan janji. Simbol-simbol agama, daerah, usia, atau apa saja juga merupakan senjata yang efektif untuk menciptakan pencitraan diri.
Menurut kabar media massa, dalam satu periode pemilihan umum menghabiskan dana 150 trilyun. Itu termasuk pemilihan caleg, presiden, hinggan pilkada yang ada di seantero Indonesia. Jumlah segitu saja, kuperkirakan 25 persennya akan sia-sia, akibat golput, suara rusak, dan berbagai ketidakberesan yang lain. Jumlah segitu banyaknya bisa buat beli isi gas tabung per-tiga kiloan sebanyak 10 milyar tabung. Atau bisa masak bagi 192 juta pengguna selama 1 tahun penuh. Bisa membangun 30 jembatan antar pulau sekelas Suramadu. Kalau bisa beli 30 juta laptop, seperti janjinya Pak Prabowo yang mau ngasih 1 juta laptop untuk mahasiswa. Memang menegakkan demokrasi butuh biaya. Semakin tinggi kualitas demokrasi, semakin tinggi biayanya. Jangan kaya barang Cina, makin murah makin tidak terjamin kualitasnya.
Sudah mahal dan menghabiskan tenaga dan waktu, kalau sudah begini, mau ke mana kau Indonesia?
Sepanjang yang aku ketahui, pemilu Indonesia adalah pemilihan umum yang paling demokratis di dunia saat ini. Itu menurut pendapatku sendiri, setelah membandingkan dengan pemilu di Amerika sana yang nota bene menjadi empunya demokrasi. Asas pemilu luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur dan adil) hanya bisa diterapkan dengan sistem pemilu di Indonesia. Tidak seperti di Irak dahulu yang konon walaupun pemilu pertamanya dibantu oleh Amerika, hanya tertera 2 pilihan: Saddam Husen lagi; atau tidak. Nah, jelas Saddam menang dalam pemilu. Lha mau bagaimana lagi kalau pilihannya hanya dia dan orang lain yang fiktif, belum ditentukan siapa yang jadi lawan politiknya. Pun begitu di Amerika pemilu juga rawan akan kecurangan, pasalnya pemilihan dilakukan dengan sistem elektronik, sehingga data lebih mudah dirubah. Apalagi pemilu presiden tidak berdasarkan pemilih terbanyak seperti pada pemilu presiden atau pilkada di Indonesia, tetapi electoral college.
Kembali ke ranah Indonesia, pemilu tahun 2009 memang berbeda dari pemilu tahun 2004, atau tahun 1999. Fenomena baru banyak menjadi trend. Apalagi kalau bukan aksi merayu masyarakat untuk meraih suaranya, atau yang disebut para intelektual "kampanye".
Aku beruntung kberadaanku sekarang di Mesir, setidaknya pandanganku di jalan tidak menemukan hal-hal aneh, seperti baliho, spanduk, atau apalah. Sejujurnya, di Indonesia aku sudah tidak nyaman memandang wajah-wajah yang menanti tanggal 9 April. Wajah-wajah di baliho, spanduk, iklan, stiker, hingga di blog dihiasi dengan gambar partai, nomor urut, slogan-slogan, hingga ajakan atau rayuan untuk memilihnya menjadi wakil kita di legislatif. Jangan heran ada yang tanpa tedeng aling-aling dan tanpa malu meminta kita secara terang-terangan untuk memilih dengan kata: "pilih saya", ada juga yang dengan malu-malu, hingga hanya berkata: "mohon doa restu maju dalam pemilihan umum 2009", ada juga yang saking malunya atau kurang pede, meminta anak atau orangtuanya yang berkata: "pilih anak si Fulan", atau "mohon dukungannya, ayah saya maju dalam pemilu", dan yang memalukan, ada juga yang berkata: "coblos saya". Aku berhusnuzhan dengan yang minta dicoblos ini, dia sudah menyetak spanduk dan baliho lama sebelum mekanisme coblos diubah menjadi contreng, bukan karena dia tidak tahu.
Pun, mendadak partai-partai politik menggelar silaturahmi, seperti yang dilakukan warga desa selepas hari raya. Atau aksi bisa dilakukan dengan jamuan makan, yang penting lobi tingkat atas harus dilakukan. Yang paling menarik adalah kampanye terbuka. Pesta rakyat memang harus benar-benar meriah. Maka tak heran musik pop, rock dan -yang paling yahud- musik dangdut dipakai untuk penarik massa. Bagi yang punya dana lebih, bisa membagikan kaos, bendera, topi, stiker, payung, pernak-pernik partai, hingga mengganti ongkos lelah dan ongkos ramai peserta kampanye.
Lalu ada yang mempertanyakan validitas dan transparansi lembaga survei. Aku tak bisa berkomentar tentang hal ini, tapi yang jelas aku tidak percaya dengan objektifitas dan hasil survei. Karena survei hari ini bisa berubah esok hari, dan survei tidak menunjukkan pilihan semua orang.
Yang paling penting dalam kampanye adalah kepopuleran. Jika caleg tak dikenal, bagaimana konstituen bisa memilihnya? Ndak mungkin kan? Maka semua usaha di atas lazim dilakukan caleg agar rakyat mengenalnya. Narsis ndak mengapa, kan hal seperti ini cuma ada 5 tahun sekali. Yang diharapkan adalah suara rakyat, bukan yang lain. Terdengar naif memang, tapi begitulah kenyataannya. Dengan suara rakyat itu, mereka akan mewujudkan mimpi pertama: duduk di kusri legislatif. Setelah menjadi legislatif, baru memikirkan rakyat, kursi dan kedudukannya, mobil baru, rumah dinas, sidang dan rapat, atau apalah.
Kenyataan dan fenomena yang demikianlah yang membuat pemilu 2009 ini menjadi kompleks dan aneh. Masih menurutku, yang terpenting dalam kampanye justru ada dalam visi & misinya, tentang latar belakangnya, kiprah politiknya, track recordnya, dan perjuangannya untuk rakyat. Apakah dia berjuang untuk sekelompok golongan, atau partai, atau berjuang untuk seluruh rakyat. Janji-janji yang mudah diucapkan justru membuat telingaku muak, memaksa otak untuk menolaknya. Menjatuhkan golongan atau partai lain juga tak kalah busuk dengan janji. Simbol-simbol agama, daerah, usia, atau apa saja juga merupakan senjata yang efektif untuk menciptakan pencitraan diri.
Menurut kabar media massa, dalam satu periode pemilihan umum menghabiskan dana 150 trilyun. Itu termasuk pemilihan caleg, presiden, hinggan pilkada yang ada di seantero Indonesia. Jumlah segitu saja, kuperkirakan 25 persennya akan sia-sia, akibat golput, suara rusak, dan berbagai ketidakberesan yang lain. Jumlah segitu banyaknya bisa buat beli isi gas tabung per-tiga kiloan sebanyak 10 milyar tabung. Atau bisa masak bagi 192 juta pengguna selama 1 tahun penuh. Bisa membangun 30 jembatan antar pulau sekelas Suramadu. Kalau bisa beli 30 juta laptop, seperti janjinya Pak Prabowo yang mau ngasih 1 juta laptop untuk mahasiswa. Memang menegakkan demokrasi butuh biaya. Semakin tinggi kualitas demokrasi, semakin tinggi biayanya. Jangan kaya barang Cina, makin murah makin tidak terjamin kualitasnya.
Sudah mahal dan menghabiskan tenaga dan waktu, kalau sudah begini, mau ke mana kau Indonesia?
No comments:
Post a Comment