
Greenpeace, salah satu oraganisasi pecinta lingkungan terbesar sedunia akhirat berunjuk rasa di Bali saat konferensi berlangsung. Mereka mendesak sudah saatnya Protokol Kyoto diperbaharui dan melegalkan keputusan yang lebih tepat dan efektif bagi seluruh Negara yang ada di dunia. Negara-negara produsen tetap tidak mau mengurangi produksi karbon (sebenarnya yang diproduksi bukan karbon sih, tapi karbon itu sampah dari proses produksi itu sendiri), karena jelas akan mengurangi penghasilan mereka. Hal seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya terhadap Protokol Kyoto. Sebagai gantinya, Negara-negara produsen karbon memberi kompensasi kepada Negara-negara di selatan yang memiliki cakupan hutan yang luas untuk menyerap sampah karbon mereka. (curang yah!) Sebab itu, dunia dibagi menjadi dua kategori dalam urusan produsen dan konsumen karbon: utara sebagai penghasil karbon, dan selatan yang menghirupnya. Istilah ini (pembayaran kompensasi) dikenal dengan pasar karbon. Negara-negara utara membayar kompensasi atas sampah karbon mereka, dan negara-negara selatan sebagai tukang sampahnya! Pasar karbon inilah yang menjadi sasaran demo (kaya teroris, nyari sasaran teror). Masalahnya, mereka merasa sudah membayar sekian juta dolar kepada Negara-negara yang memiliki hutan tetapi tetap tidak mau mengurangi sampah karbon.
Menurut hasil riset Tearfund dunia ketiga membutuhkan dana US$ 50 milyar untuk beradaptasi. Jumlah ini masih bisa terus meningkat mengingat laporan IPCC di Valencia, Spanyol menyatakan negara-negara berkembang menjadi pihak yang paling rentan tertimpa bencana. Kenaikan suhu 1-2 derajat akan terus terjadi, permukaan air laut akan meningkat sekitar 1-3 meter abad ini, dan kekeringan menimpa khususnya Amerika Selatan dan Afrika. Ini berarti suhu bumi memanas 13-14 derajat dari suhu rata-rata seabad yang lalu. Lalu bagaimana kita menyikapinya? Simpel saja, kurangi pemakaian energi, dan coba hijaukan kembali bumi.
No comments:
Post a Comment