Sunday, February 10, 2008

UNFCCC Bali

Kabar tentang climate change di Bali (UNFCCC) udah basi. Walaupun Bali yang notabene paradise beach-nya Indonesia sama sekali bukan pusat perhatian. Tetapi intinya itu bahas perubahan iklim. Maksudnya? Pada ngerasa nggak sih, bumi tu kian lama kian panas. Suhu bumi yang makin meningkat (udara) disebabkan ozon yang tidak bisa mengatasi sinar ultra violet dan polusi yang dimuntahkan dari bumi. Alhasil, kutub mencair, permukaan laut meninggi dan yang pasti buat kita jadi kepanasan, gerah! Coba aja datang ke kota-kota metropolitan, nongkrong di perempatan jalan siang bolong dua tahun aja, panas banget kan?! Walaupun anda sudah memakai sunblock di sekujur tubuh tetep aja nggak berfungsi, yah keringetnya aja udah membasahi sekujur tubuh, baju yang dipake udah kaya lap pel lantai.

Greenpeace, salah satu oraganisasi pecinta lingkungan terbesar sedunia akhirat berunjuk rasa di Bali saat konferensi berlangsung. Mereka mendesak sudah saatnya Protokol Kyoto diperbaharui dan melegalkan keputusan yang lebih tepat dan efektif bagi seluruh Negara yang ada di dunia. Negara-negara produsen tetap tidak mau mengurangi produksi karbon (sebenarnya yang diproduksi bukan karbon sih, tapi karbon itu sampah dari proses produksi itu sendiri), karena jelas akan mengurangi penghasilan mereka. Hal seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya terhadap Protokol Kyoto. Sebagai gantinya, Negara-negara produsen karbon memberi kompensasi kepada Negara-negara di selatan yang memiliki cakupan hutan yang luas untuk menyerap sampah karbon mereka. (curang yah!) Sebab itu, dunia dibagi menjadi dua kategori dalam urusan produsen dan konsumen karbon: utara sebagai penghasil karbon, dan selatan yang menghirupnya. Istilah ini (pembayaran kompensasi) dikenal dengan pasar karbon. Negara-negara utara membayar kompensasi atas sampah karbon mereka, dan negara-negara selatan sebagai tukang sampahnya! Pasar karbon inilah yang menjadi sasaran demo (kaya teroris, nyari sasaran teror). Masalahnya, mereka merasa sudah membayar sekian juta dolar kepada Negara-negara yang memiliki hutan tetapi tetap tidak mau mengurangi sampah karbon.

Menurut hasil riset Tearfund dunia ketiga membutuhkan dana US$ 50 milyar untuk beradaptasi. Jumlah ini masih bisa terus meningkat mengingat laporan IPCC di Valencia, Spanyol menyatakan negara-negara berkembang menjadi pihak yang paling rentan tertimpa bencana. Kenaikan suhu 1-2 derajat akan terus terjadi, permukaan air laut akan meningkat sekitar 1-3 meter abad ini, dan kekeringan menimpa khususnya Amerika Selatan dan Afrika. Ini berarti suhu bumi memanas 13-14 derajat dari suhu rata-rata seabad yang lalu. Lalu bagaimana kita menyikapinya? Simpel saja, kurangi pemakaian energi, dan coba hijaukan kembali bumi.

Read More..

Friday, February 8, 2008

Dasar Sok Penting...

Ego harus ditundukkan. Jangan pernah merasa kau adalah manusia yang istimewa. Jangan pernah berpikir orang yang tak mau mendengarkan pidatomu akan jadi oarang yang merugi, jangan berkeinginan kau harus disapa tiap orang. Andaikan ada cermin ajaib yang bisa merefleksikan lahir dan batinmu secara lugu, apa adanya, cepatlah beli dan kaugantung di tembok kamarmu.

Siapa bilang panitia membutuhkanmu saat mereka menggelar acara, siapa bilang pelajar mencarimu saat menjelang ujian, siapa bilang kawanmu akan membutuhkanmu saat dia kesusahan. Sok penting lu...

Read More..

Subyektif yang Terlalu

Mengkaji manusia dan segala tingkah lakunya memang amat menarik. Mengapa anak harus hormat kepada orang tua, mengapa pencuri harus ngembat harta orang, mengapa koruptor harus menilep uang bersama, mengapa santri harus patuh pada kyai, mengapa pejabat harus tunduk pada atasan, mengapa hakim selalu memberi keringanan dakwaan, mengapa penjual selalu menyebunyikan cacatnya barang dagangan, mengapa komentator bola selalu mengkritik kesebelasan yang kalah. Entahlah, semuanya bagaikan peneliti yang kerjanya hanya mengamati, sekaligus berfungsi ganda sebagai juri yang selalu mengevaluasi hasil yang dirasa belum sempurna. Apakah sikap seperti ini memang sudah menjadi watak manusia? Entahlah. Sudah saatnyalah menjadikan diri kita sendiri sebagai obyek, jangan melulu sebagai subyek yang memandang orang dengan kacamata yang kita miliki.

Tiap orang tentu berbeda hasil pengamatannya, sebab kacamata mereka berbeda. Tiap orang tak mungkin berparadigma sama dalam sejumlah fenomena keseharian yang ada. Dalam kasus kemacetan jalan misalnya, semua pengendara mengeluh dan marah. Ada yang menduga polantasnya tidak becus, ada yang menduga jalannnya pasti berlubang atau rusak, ada yang menduga lampu traffic sedang rusak, ada yang menduga pasti ada truk lagi mogok, ada yang menduga ada kecelakaan, padahal yang terjadi sebenarnya jalan diblokir karena ada demonstrasi solidaritas rakyat atas pemerintahan junta militer Burma.

Oang yang tidak tahu apa yang terjadi, bisa saja berpikir dan bertindak atas hasil analisa praduga mereka. Tak tahu apa yang terjadi, pokoknya harus ada obyek yang disalahkan atas kemacetan lalu lintas. Memang amat susah -malah hampir bisa dikatakan mustahil- kita memandang semua hal secara obyektif. Sebab manusia memiliki aura yang amat pekat, yang disebut ego. Ego inilah yang mengendalikan seluruh sistem yang ada dalam diri. Dalam otak dan hati yang akhirnya mengendalikan jasmani dalam tindakan. Cobalah kita memposisikan diri sebagai terdakwa, bukan melulu sebagai hakim, cobalah berdagang asongan, bukan menjadi sang pembeli yang memegang segepok uang, cobalah menjadi tukang sampah, bukan malahan tiap hari membuang kotoran, cobalah bermain sepakbola, dan dengarkan semua ocehan komentator seperti yang kita lakukan setelah pertandingan. Sungguh haq ayat Allah: kaburo maqtan 'indallah an taqulu ma la taf'alun.

Read More..