Tuesday, April 15, 2008

UPAYA SAHABAT DALAM PENGUMPULAN MUSHAF PRIBADI PRA-UTSMANI

Kajian sejarah selalu saja menarik bagi siapa saja. Para sarjana muslim telah melakukan kajian sejarah yang mengambil obyek mushaf. Al-quran yang sekarang beredar di seluruh tempat dan dibaca setiap hari oleh muslimin seluruh dunia merupakan hasil inisiatif sahabat yang mengumpulkannya dan menjadikannya sebuah kesatuan, hingga disebut mushaf. Adanya para penulis wahyu membuat upaya pengumpulan mushaf resmi atas sponsor khaliah Abu Bakr yang pertama menjadi lebih mudah dari yang dibayangkan Zayd bin Tsabit.

Pada abad ke-4H beberapa sarjana mislim melakukan kajian khusus mengenai mushaf-mushaf ini. Kajian yang paling popular adalah yang dilakukan Ibn al-Anbari , sebelum karya Ibn Mujahid tentang tujuh qiraat. Sayangnya, Kitab al-Mashahif yang disusun oleh Ibn al-Anbari telah hilang ditelan zaman, dan tidak ditemukan bukti langsung keberadaanya, dan hanya dapat diketahui dalam kutipan-kutipan yang ditulis ilmuan muslim setelahnya, seperti dalam karya al-Suyuthi. Satu-satunya karya yang paling kuno adalah yang ditulis Ibn Abi Daud al-Sajistani (w.316H), Kitab al-Mashahif. Hanya saja, buku ini adalah yang paling sedikit cakupannya disbanding karya-karya ilmuan ahli pada zamannya.

Dalam karya-karya tafsir kuno, sering dijumpai perujukan kepada varian beberapa mushaf pra-Utsmani. Terkadang hanya disebutkan dengan ungkapan “mushaf sahabat”, “dalam beberapa mushaf lama”, atau “dalam bacaan yang terdahulu”. Selain itu, dibuat mushaf yang keberadaanya eksisi di kota-kota tertentu, sperti “mushaf kota Basrah”, “mushaf kota Hims”, mushaf ahl al-Aliyah”. Kadangkala dinisbatkan juga ke pemilik mushaf pribadi, seperti “mushaf milik kakeknya Malik bin Anas”, atau “mushaf milik Ubay” dan lainnya.

Arthur Jeffery mengklasifikasikan mushaf-mushaf lama ke dalam 2 kategori utama: mushaf primer dan mushaf sekunder. Sekalipun Jeffery tidak mengemukakan apapun mengenai karakteristik pengkategoriannya, bisa diketahui yang ia maksud dengan mashahif primer adalah mushaf-mushaf independen yang dikumpulkan secara individual oleh para sahabat, dan sekunder yang dikumpulkan tabiin yang sangat bergantung pada mashahif primer. Dalam kasus-kasus tertentu, mashahif ini belum tentu secara aktual bermakna suatu kumpulan al-quran yang tertulis. Tetapi terdapat bukti dari berbagai sumber yang menunjukkan eksistensi mushaf-mushaf tertentu dalam bentuk kumpulan tertulis al-quran. Berikut 15 mushaf-mushaf primer yang dikategorisasikan Jeffery: (penisbatan pemilik mushaf) Salim bin Ma’qil, ‘Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’b, Abdullah Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ary, Hafshah bint ‘Umar, Zayd bin Tsabit, ‘Aisyah bint Abu Bakr, Ummu Salamah, ‘Abdullah bin Amr, Abdullah Ibn ‘Abbas, Abdullah Ibn al-Zubayr, ‘Ubayd bin ‘Umair, Anas bin Malik. Sedangkan yang dimaksud mushaf-mushaf sekunder ialah 13 mushaf ini: ‘Alqamah bin Qays, al-Rabi’ bin Khutsaim, al-Harits bin Suwayd, al-Aswad bin Yazid, Hiththan bin Abdullah, Thalhah bin Musharrif, al-A’masy, Sa’id bin Jubayr, Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha bin Abi Rabah, Shalih bin Kaisan, dan Ja’far al-Shadiq.

Yang penulis soroti di sini adalah perbedaan mencolok ‘Ubayd bin ‘Umair. Lazim diketahui, dia adalah seorang tabiin, bukan sahabat. Dalam Kitab al-Mashahif, al-Sijistani mengkategorikkan mushaf-mushaf kuno ke dlam 2 kelompok: mushaf sahabiy dan mushaf tabi’iy, dan mushaf yang ditulis ‘Ubayd bin ‘Umair termasuk golongan kedua.

Yang relevan untuk dikaji di sini ialah mushaf-mushaf primer menurut Jeffery. Mushaf-mushaf ini menunjukkan usaha individu-individu yang sadar di kalangan sahabat Nabi, dan mushaf-mushaf sekunder lebih menunjukkan pengaruh masahif primer yang menjadi panutan muslimin dalam tradisi qiraah di kota-kota besar saat itu. Namun demikian, hanya sedikit dari sekian jumlah mushaf di atas yang berpengaruh dalam masyarakat. Dalam tenggang waktu 20 tahun –selisih wafatnya Nabi Muhammad saw hingga pegumpulan al-quran masa Utsman- hanya sekitar 4 mushaf sahabat yang berhasil memapankan pengaruhnya di masyarakat. Keempat mushaf yang dimaksud adalah milik: Ubay bin Ka’b, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ary, dan Miqdad bin Aswad. Di samping keempat mushaf ini, mushaf Ibn ‘Abbas walaupun tidak menjadi otoritas pada masanya, juga perlu diperhatikan berdasarkan signifikansinya yang nyata dalam perkembangan kajian al-quran yang timbul belakangan. Kelima manuskrip ini sayangnya tidak bertahan sampai sekrang, sehingga permasalahn bentuk lahiriah dan tekstualnya hanya bisa dioketahui lewat sumber-sumber tidak langsung. Bahkan, mushaf Miqdad bin Aswad tidak dapat diketahui jejaknya sama sekali, sehingga Jeffery tidak memasukkannya dalam skema mashahif primer. Miqdad berasal dari Yaman dan melarikan diri ke Makkah setelah terjadinya sengketa berdarah di daerah asalnya. Ia termasuk salah seorang sahabat yang pertama kali mengimani risalah Nabi dan ikut serta hampir seluruh peperangan pada masanya. Pengaruh mushafnya di kalangan penduduk Hims tidak dapat ditelusuri. Dalam tulisan yang terbatas ini akan ditemui karakteristik unik dari keempat mushaf yang masyhur.

Mushaf Ubay bin Ka’b
Mushaf Ubay populer di Syiria, dan penduduknya membaca quran dengan bacaan Ubay. Kemungkinan ia mengumpulkan wahyu dan menuliskannya ke dalam satu mushaf telah dimulai sejak ia berstatus katibul wahy, tetapi tidak dapat dipastikan kapan ia menyelesaikan pengumpulan itu. Sekalipun ada bacaan tidak lazim dalam mushafnya, khalifah saat itu, Umar bin al-Khattab, ataupun Zayd tidak membantah kebenarannya.
Mushaf Ubay tampaknya tidak pernah menjadi sumber salah satu mushaf sekunder, sekalipun mushafnya telah disalin dan diwarisi secara turun-temurun. Misalnya, oleh keluarga Muhammad bin Abd Malik al-Anshari. Di kediamannya ini penulis al-Fihrist menyaksikan kodeks mushaf Ubay.

Mushaf Ubay dikabarkan turu dibakar ketika dilakukan standarisasi teks al-quran pada masa Utsman. Al-Sijistani meriwayatkan beberapa orang dari Iraq menemui anak Ubay, Muhammad, untuk meminta keterangan perihal mushaf ayahnya. Namun Muhammad menjawab bahwa mushaf tersebut telah disita Utsman. Sekalipun demikian, dari beberapa riwayat yang sampai kepada kita, dapat ditelusuri tartib surat, bacaan-bacaannya yang berbeda dengan mushaf Utsmani, dan lainnya.

Ada perbedaan dalam susunan surat antara mushaf Ubay dan mushaf Utsmani. Ibn al-Nadim dalam al-Fihrist melaporkan mushaf Ubay berjumlah 116 surat. Tetapi Ibn al-Nadim tidak menuliskan 14 surat, sehingga yang ada dalam daftarnya hanya berjumlah 102. sementara itu, dalam al-Itqan dilaporkan jumlahnya 115 surat, karena surat al-Fil dan Quraisy atau surat al-Dluha dan surat al-Insyirah dijadikan satu. Sebagaimana al-Fihrist, daftar tartib surat dalam al-Itqan juga tidak lengkap. Ada 8 surat yang tidak tercantum dalam al-Itqan; yaitu al-Muddatssir, al-Furqan, al-Sajdah, Fathir, al-Qalam, al-Insan, al-Buruj, dan al-Masad. Di samping ittu, ada dua surat ekstra dalam mushaf Ubay, yang disebut dengan surat al-Khal’ ( 3 ayat) dan surat al-Hafd (6 ayat). Kedua surat ini tidak dapat disebut bagian dari al-quran, hal ini dapat dilihat lewat kosa kata non-quranik, di samping kedua surat ini tidak dibaca kecuali dalam doa qunut saja. Dengan demikian maklum diketahui jumlah surat mushaf Ubay berjumlah 116, bukan 114.

Urutan surat yang digunakan Ubay dalam mushafnya juga berbeda dengan mushaf yang ada sekarang ini. Karakteristik yang mencolok dari urutan ini adalah dimulai dari yang terpanjang hingga yang terpendek. Urutan seperti ini lazim digunakan dalam beberapa mushaf kuno.

Selain itu, perbedaan vokalisasi, kerangka konsonan teks, penempatan kata yang diakhirkan atau didahulukan, pembolak-balikan urutan ayat, penambahan atau pengurangan kata atau ayat banyak dijumpai dalam mushaf Ubay. Bahkan ditemukan ayat alternatif atau ayat ekstra dalam mushaf Ubay. Jeffery berupaya mengumpulkan varie lectiones (ragam bacaan) membutuhkan sekitar 64 halaman untuk menyajikannya yang berbeda dari lectio vulgata (bacaan resmi) mushaf Utsmani. Contohnya, huruf alif dan nun bisa dibaca inna, anna, ataupun an; mim dan nun dibaca man atau min; kalimat shummun bukmun ‘umyun dibaca shumman ukman ‘umyan; wa la al-dlalin dibaca ghayri al-dlalin; wa lahu-l-hamdu fil akhiroti disisipi kata al-dunya, sehingga dibaca wa lahu-l-hamdu fi-l-dunya wal akhiroti; libasa-l ju’i wa-l khawfi dibalik menjadi libasa-l khawfi wa-l ju’i.

Mushaf Ibn Mas’ud
Ibn Mas’ud belajar dari Nabi 70 surat secara langsung. Diriwayatkan ia merupakan salah seorang sahabat yang mengajarkan bacaan al-quran. Diperkirakan ia mengawali pengumpulan mushafnya sejak Nabi hidup dan berlanjut sepeninggal Nabi. Setelah ditempatkan di Kufah, mushafnya berpengaruh kuat dan memiliki otoritas di kalangan penduduk Kufah. Dikabarkan ia menolak menyerahkan mushafnya kepada khalifah Utsman, dikarenakan mushaf resmi disusun oleh Zayd, sedangkan Ibn Mas’ud adalah senior qurra’. Diriwayatkan kala Zayd masih anak-anak, Ibn Mas’ud telah bermulazamah dengan Nabi untuk mempalajari quran.

Di Kufah sejumlah muslim menerima mushaf Utsmani yang baru, tetapi sebagian besar penduduk tetap berpegang mushaf Ubay. Sedemikian kuatnya pengaruh mushaf ini, hingga sejumlah mushaf sekunder, seperti mushaf ‘Alqamah, al-Rabi’ bin al-Khutsaim, al-Aswad, al-A’masy, mendasarkan teksnya atas Ibn Mas’ud.

Karakteristik yang mencolok dari mushaf ini adalah ketiadaan 3 surat pendek; al-Fatihah, al-Falaq, dan al-Nas. Ibn al-Nadim menyatakan ia melihat sebuah manuskrip mushaf Ibn Mas’ud yang berusia 200 tahun bertuliskan surat al-Fatihah di dalamnya. Tetapi, ia menambahkan dari sejumlah manuskrip mushaf Ibn Mas’ud yang dilihatnya, tidak ada satupun yang bersesuaian antara satu dengan yang lain.

Ibn al-Nadim mendaftar jumlah seluruh surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam surat yang akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar al-Suyuthi adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat. Diduga kuat perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam surat yang hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat yang tidak ada dalam al-Itqan.

Beberapa perbedaan mushafnya dengan mushaf resmi seperti dicontohkan, tathawwa’a khairan disisipkan huruf ba, sehingga dibaca tathawwa’a bikhairin; peghilangan kata ‘an dalam yas`alunaka ‘ani-l anfal menjadi yas`alunaka-l anfal; penggantian kata dengan kata lain yang bermakna sama seperti aydiyahuma dibaca aymanuhuma; dan ada yang bermakna lain, seperti ilyasa dan ilyasin (QS. Al-Shaffat: 123&130) diganti dengan idrisa dan idrasin; penyisipan beberpa kata seperti wa ajwajuhu ummahatuhum disisipi wa huwa abun lahum, atau satu kata seperti min qabli hadza disisipkan al-qurani; perbedaan kata dalam kerangka konsonan teks yang sama sehingga dibaca dengan kalimat yang beda, seperti baqiyyatin (QS. Hud: 116), huruf ba` dibaca ta`, sehingga dibaca taqiyyatin; penambahan beberapa ayat ekstra; penghilangan satu frase kalimat yang tidak merubah maknanya; penghilangan ayat keenam QS. Al-Insyirah dikarenakan pengulangan dari ayat 5.

Mushaf Abu Musa al-Asy’ari
Abu Musa pernah menjadi gubernur di Basrah pada masa khalifah ‘Umar, lalu dipindahtugaskan ke Kufah pada masa khalifah ‘Utsman. Mulai menyusun mushafnya sejak zaman Nabi dan diselesaikan setalah Nabi meninggal. Mushafnya yang dikenal dengan sebutan Lubab al-Nuqul menjadi kuat dan otoritaif di kalangan penduduk Basrah kala ia menjabat sebagai gubernur. Dalam Kitab al-Mashahif disebutkan seorang utusan datang membawa mushaf resmi Utsmani yang akan diajdikan mushaf standar, Abu Musa berkata bahwa bagian apapun dalam mushafnya yang bersifat tambahan bagi mushaf Utsmani jangan dihilangkan, dan bila ada bagian mushaf Utsmani yang tidak terdapat dalam mushafnya agar ditambahkan.

Mushaf Abu Musa terlihat semakin memudar pengaruhnya di kalangan muslimin seiring dengan diterimanya mushaf Utsmani sebagai mushaf resmi umat. Tidak ada riwayat yang menuturkan susunan surat mushaf Abu Musa, selain riwayat bahwa terdapat juga 2 surat ekstra –surat al-Khal’ dan al-Hafd- dalam mushafnya.

Jeffery menelusuri varie lectiones Abu Musa dan hanya menghasilkan jumlah yang tidak banyak. Ia hanya menemukan 4 varian bacaan Abu Musa yang berbeda dari lectio vulgata, dan kesemuanya secara subsatnsial tidak berbeda maknanya dengan kodeks Utsmani.

Mushaf Ibn ‘Abbas
Ibn ‘Abbas, keponakan Nabi, yang juga masyhur sebagai tarjuman al-quran pernah menjadi gubernur Basrah di bawah kepemimpinan khalifah ‘Ali. Seorang sahabat yang memiliki otoritas yang sangat besar dalam bacaan quran. Walaupun beberapa mushaf sekunder –seperti mushaf ‘Ikrimah, ‘Atha`, dan Sa’id bin Jubayr- meneruskan tradisi teksnya, muushafnya tidak pernah menjadi panutan masyarakat kota tertentu.

Jeffery memperkirakan mushaf Ibn ‘Abbas mencerminkan salah satu bentuk resmi dari tradisi teks madinah. Dari hubungan dekatnya yang resmi dengan khalifah ‘Utsman saat pengkodifikasian resmi, dipastikan mushafnya diserahkan kepadanya dan dimusnahkan.
Karakter mushaf Ibn ‘Abbas yang sama seperti yang lain adalah eksisinya dua surat ekstra, yaitu surat al-Khal’ dan al-Hafd. Jadi, surat dalam mushafnya berjumlah 116. Tetapi dalam daftar susunan surat mushafnya, kedua surat ini tidak tercantum. Ibn ‘Abbas berpedoman urutan kronologis dalam menyusun tartib surat. Berawal dari surat Iqra` dan berakhir dengan surat al-Nas.

Bacaan-bacaan Ibn ‘Abbas dalam sejumlah kasus mendukung varian-varian bacaan dalam tradisi teks Utsmani, seperti bacaan Hamzah, al-Kisai, Ibn Katsir, Nafi’, Abu Amr dan Ibn Amir, yang agak berbeda dari bacaan ‘Ashim. Dalam berbagai kasus, bacaan Ibn ‘Abbas selaras dengan bacaan bacaan Ibn Mas’ud, dan lebih sedikit dengan bacaan Ubay.

Beberapa perbedaan antara mushafnya dengan mushaf Utsmani dicontohkan seperti: perbedaan vokalisasi dengan kerangka konsonan kata yang sama, seperti fi ‘ibadi (QS. Al-Fajr:29) dibaca fi ‘abdi; perbedaan jamak dan mufrad kata, seperti al-masyriqi wa-l maghribi dibaca al-masyariqi wa-l magharibi, dan ayatun bayyinatun (jamak) dibaca ayatun bayyinatun (mufrod); perbedaan pemberian titik diiakritis untuk kerangka konnsonan, sehingga huruhnya berbeda, seperti yaqusshu-l haqq dibaca dengan huruf dlad, hingga menjadi yaqdli bi-l haqq, dengan disisipi huruf ba`, penambahan kata dalam ayat juga ditemukan dalam mushaf Ibn ‘Abbas, seperti fanadaha min tahtiha disisipi kata malakun, hingga dibaca fanadaha malakun min tahtiha; penghilangan kata; perbedaan kerangka grafis, seperti shrirath tidak ditulis dengan huruf shad, tetapi dengan huruf sin, wa atimmu-l hajja wa-l ‘umrota lillah ditulis dengan huruf qaf, sehingga dibaca wa aqimu-l hajja; pemindahan kata dengan mengakhirkan atau didahulukan, seperti laysa ‘alaikum junahun menjadi laysa junahun ‘alaikum.

Penutup
Beberapa bukti di atas hanyalah sebagian kecil dari dari penegasan bahwa tradisi tulis-menulis telah menjadi hal yang amat lazim di kalangan sahabat. Dan para sahabat sadar dan melakukan upaya sungguh-sungguh dalam melestarikan ragam bacaan yang bersumber dari Nabi. Upaya standarisasi al-quran yang dimotori oleh khalifah ‘Utsman yang menyeragamkan bacaan dan teksnya berhasil dengan sangat baik, dengan sedikit efek samping yang tentu tidak ia duga dari sebelumnya: mushaf lain yang ia musnahkan sesungguhnya amat bermanfaat bagi kejian kelimuan quranic studies. Walau bagaimanapun, hasil ijtihad para sahabat menyatukan bacaan al-quran tetap upaya yang harus diterima dan dihargai dengan syukur, sebab jika yang dikhawatirkan terjadi, tentu umat Islam tercerai berai dan tidak menutup kemungkinan munculnya bacaan atau mushaf palsu di kalangan muslimin.

Pencetakan mushaf edisi standar Mesir tahun 1924 adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni versi Warsy dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari ‘Ashim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari ‘Ashim.

Pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan al-quran sepanjang masa. Terbukti kemudian, al-quran Edisi Mesir itu merupakan versi al-quran yang paling banyak beredar dan menjadikannya sebagai supremasi kanonik. Bisa saja masa mendatang mushaf edisi ini mengeliminasi eksisitensi tertulis bacaan yang tersisa. Kenyataan yang harus bisa diterima semua kalangan, al-quran telah menjadi sebuah korpus resmi tertutup atau tradisi teks dan bacaan tunggal yang disepakati.

Keberhasilan penyebarluasan al-quran edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi al-quran adalah karya institusi yang didukung oleh penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran al-quran tak akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.

Read More..

DUKUNGAN TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI

LAPORAN HASIL LOKAKARYA

DUKUNGAN TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI
MAHASISWA INDONESIA DI MESIR

Al-Azhar Conference Center, Nasr City, Cairo, Mesir

Sabtu-Ahad, 12-13 April 2008

A. PENDAHULUAN

Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, acara Lokakarya "Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir" telah terselenggara pada 12 dan 13 April 2008 di Al-Azhar Conference Center, Nasr City, Cairo, atas kerjasama KBRI Cairo dan Pengurus Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir serta dukungan penuh dari Yang Mulia Grand Syeikh Al-Azhar; Prof. Dr. Muhammad Sayyed Tantawi dan Menteri Agama RI M. Maftuh Basyuni.

Lokakarya dimaksudkan sebagai forum tukar pikiran mengenai berbagai persoalan mahasiswa Indonesia di Mesir (selanjutnya disebut Masisir) agar tercipta persepsi dan komitmen bersama dalam rangka mendukung kesuksesan studi mereka. Adapun tujuan dan target dari Lokakarya ini adalah merumuskan sebuah konsep solusi yang efektif, praktis, dan komprehensif mengenai upaya penyelesaian persoalan mahasiswa Indonesia di Mesir.

Untuk memenuhi tujuan dan terget tersebut, Lokakarya menghadirkan para stakeholder yang merupakan pemangku kebijakan terkait dengan mahasiswa Indonesia di Mesir dan pihak-pihak yang memiliki perhatian besar terhadap kesuksesan studi mereka.

Para stakeholder yang berpartisipasi terdiri dari figur-figur penting dari: Universitas Al-Azhar, Kementerian Dalam Negeri Mesir, Kementerian Luar Negeri Mesir, Kedutaan Mesir di Jakarta, DPR RI (Komisi X), Departemen Luar Negeri RI, Departemen Agama RI, Departemen Pendidikan Nasional RI, Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Pemda Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Ormas Islam (NU, Muhammadiyah, PERSIS, ICMI), KBRI Cairo, PPMI Mesir, Alumni Al-Azhar, Asosiasi Pesantren, dan Lembaga Beasiswa.

Adapun peserta dari kalangan mahasiswa terdiri dari wakil-wakil berbagai organisasi kemahasiswaan, yaitu WIHDAH PPMI, DPD PPMI, Perwakilan Organisasi Kedaerahan (KMA – Nangroe Aceh Darussalam, HMM – Medan, KPTS – Tapanuli, KMM – Minangkabau, KSMR – Riau, KMJ – Jambi, KEMASS – Sumatera Selatan, KMB – Banten, KPJ – Jakarta, KPMJB – Jawa Barat, KSW – Jawa Tengah dan DIY, GAMAJATIM – Jawa Timur, FOSGAMA – Madura, KMNTB – Nusa Tenggara dan Bali, KMKM – Kalimantan, KKS – Sulawesi), Pimpinan Organisasi Afiliatif (ICMI, PCI NU, PCI Muhammadiyah, PWK Persis, , PCI Al-Washliyah, PWK PII), dan tokoh-tokoh mahasiswa.

Selain itu, Lokakarya juga dihadiri oleh undangan khusus, kalangan pers, dan pemerhati pendidikan.

B. PERMASALAHAN

Secara umum, pokok bahasan yang dibicarakan dalam Lokakarya ini meliputi persoalan sejak masa persiapan studi, masa menjalani studi, dan masa pasca studi. Persoalan-persoalan tersebut kemudian diurai secara lebih mendalam berdasarkan jenis masalah sekaligus dicarikan alternatif solusinya. Adapun materi pembahasan meliputi soal-soal Keazharan, Kemesiran dan Kemahasiswaan.

C. PEMBAHASAN

Bentuk pembahasan masalah dalam Lokakarya ini dilakukan melalui ceramah dan dialog, sidang pleno, serta sidang komisi:

1. Ceramah dan dialog digunakan dalam pembukaan dan penutupan dengan materi pokok pemantapan motivasi belajar, peningkatan wawasan dan peneguhan semangat berprestasi.
2. Pleno I membahas materi Keazharan dengan pokok bahasan masalah-masalah mahasiswa Indonesia di Mesir serta hubungannya dengan Universitas Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan di mana mayoritas mahasiswa Indonesia menuntut ilmu.
3. Pleno II membahas materi Kemesiran dengan pokok bahasan masalah-masalah yang terkait dengan proses pengurusan visa masuk, izin tinggal, serta keamanan selama tinggal di Mesir.
4. Pleno III membahas materi Kemahasiswaan yang merupakan hasil dari sidang komisi:

a) Sidang Komisi I dengan pokok bahasan masalah-masalah yang dihadapi calon mahasiswa baru (CAMABA) sebelum berangkat ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar dan beberapa universitas lainnya
b) Sidang Komisi II dengan pokok bahasan pola pembinaan yang efektif bagi mahasiswa Indonesia di Mesir dalam rangka mencapai tujuan peningkatan kualitas dan prestasi akademik maupun non-akademik.
c) Sidang Komisi III dengan pokok bahasan masalah-masalah yang terkait dengan masa depan dan langkah selanjutnya bagi para sarjana alumni Universitas al-Azhar dan perguruan tinggi lainnya.

D. KESIMPULAN DAN KESEPAKATAN

Setelah melalui serangkaian pembahasan yang mendalam terhadap materi-materi pokok Lokakarya, maka para peserta Lokakarya menyepakati sejumlah rekomendasi kebijakan dan berkesimpulan tentang perlunya masing-masing stakeholder memberikan kontribusi positif berupa solusi konkret, praktis dan efektif demi menyelesaikan persoalan-persoalan mahasiswa Indonesia di Mesir. Dengan demikian, diharapkan pada masa-masa yang akan datang dapat dibentuk suatu mekanisme dan proses yang mapan dan integratif dalam mewujudkan peningkatan prestasi mahasiswa Indonesia di Mesir.

Sehubungan dengan itu, para peserta Lokakarya telah menyepakati hal-hal sebagai berikut:

1. Masalah Keazharan:

a) Mendukung gagasan Universitas Al-Azhar untuk mengadaan tes ulang jika diperlukan dan menyediakan kelas khusus persiapan Bahasa Arab (I’dad Lughah) bagi mahasiswa Indonesia dalam hal dipandang belum memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan sebelum mengikuti perkuliahan.
b) Universitas Al-Azhar diharapkan dapat mempertimbangkan penyediaan diktat kuliah lebih awal guna memberi kesempatan lebih banyak bagi mahasiswa untuk mempelajari dan mendalaminya.
c) Universitas Al-Azhar diharapkan dapat mempertimbangkan mengirimkan beberapa dosen untuk memberikan Fushul Taqwiyah (Kuliah Tambahan/bimbel) secara rutin dan berkala kepada mahasiswa dengan memanfaatkan rumah daerah.
d) Mengusulkan kepada Universitas Al-Azhar untuk menerapkan absensi secara maksimal dalam proses belajar-mengajar di seluruh tingkatan untuk mengoptimalkan kehadiran mahasiswa ke kampus untuk mengikuti perkuliahan.
e) Al-Azhar diharapkan memberikan kebijakan khusus terkait dengan pemberian surat keterangan kepada mahasiswa yang sedang dalam masa transisi studi untuk mendapatkan visa tinggal (iqamah).
f) Mendukung perlunya koordinasi antara Pemerintah RI dan Al-Azhar dalam menentukan mekanisme penyelenggaraan tes CAMABA.
g) Al-Azhar turut berperan dalam pembekalan CAMABA sebelum berangkat ke Mesir.

2. Masalah Kemesiran:

a) State Security Mesir memberikan informasi yang lengkap tentang persyaratan yang diperlukan untuk mempermudah mendapatkan persetujuan (muwafaqah amn) demi mempercepat pengurusan visa masuk Mesir bagi mahasiswa baru.
b) Mendukung State Security (Amn Daulah) Mesir dalam mempermudah pemberian persetujuan keamanan (muwafaqah amn) bagi CAMABA, maupun calon mahasiswa S2 dan S3 dalam waktu tidak lebih dari 72 jam (3 hari).
c) State Security Mesir, baik secara berkala atau dalam hal diperlukan, diharapkan dapat memberikan arahan dan panduan terkait aturan dan ketentuan setempat, terutama dalam rangka memberikan pengayoman dan pengamanan bagi mahasiswa Indonesia.
d) Imigrasi Mesir memfasilitasi pemberian izin tinggal (iqamah) kepada mahasiswa yang sedang dalam masa transisi studi berdasarkan surat keterangan yang dikeluarkan pihak Universitas Al-Azhar.
e) Mendukung upaya Kementerian Luar Negeri Mesir untuk berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Mesir di Jakarta dalam rangka mempercepat pemberian visa masuk Mesir demi kelancaran keberangkatan CAMABA ke Mesir.
f) Mendukung Imigrasi Mesir dalam meningkatkan pelayanan publik dengan menambah jumlah loket dan petugas pelayanan perpanjangan izin tinggal (iqamah).


3. Masalah Kemahasiswaan:


1. Masa Persiapan Studi:


1) Depag RI, KBRI Kairo, PPMI Mesir, Pondok Pesantren, dan Alumni menyediakan informasi yang obyektif, integral dan komprehensif tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan studi ke Mesir (di Al Azhar maupun institusi pendidikan lainnya), baik berupa Buku Panduan Belajar ke Mesir, Lembar Pengumuman, Brosur, dll.
2) Depag RI, Pemda dan Asosiasi Pondok Pesantren memprioritaskan lulusan-lulusan terbaik dari pesantren maupun SLTA yang terakreditasi untuk mengikuti seleksi calon mahasiswa.
3) Perlu adanya koordinasi persiapan antara Depag RI dan stakeholders terkait yang meliputi tes bahasa Arab, hafalan Quran, tes kesehatan dan kesiapan mental (salah satunya melalui psikotes) bagi calon-calon pelajar yang akan belajar di institusi-institusi pendidikan di Mesir.
4) Pentingnya penyelenggaraan orientasi dan pelatihan oleh pihak-pihak yang terkait dengan CAMABA (Depag RI, Pondok Pesantren, maupun alumni) meliputi orientasi dan pelatihan tentang budaya, kehidupan perkuliahan di Mesir, bahasa ‘Amiyah, maupun akhlak.
5) Perlunya klasifikasi tujuan studi (tingkat menengah, S1, S2 dan S3, serta yang ingin belajar bahasa Arab) bagi pelajar atau CAMABA yang akan melanjutkan studi di Mesir.
6) Seleksi calon pelajar dan CAMABA dilakukan oleh lembaga yang profesional sesuai dengan standar yang menjadi tuntutan Al-Azhar.
7) Perlunya pemerataan penerimaan CAMABA dari seluruh wilayah Indonesia secara proporsional dengan mengutamakan kualitas.
8) Perlunya diberikan peluang bagi siswa-siswi tingkat akhir untuk mengikuti seleksi CAMABA ke Mesir.
9) Depag RI melakukan inventarisasi dan verifikasi sekolah-sekolah di Indonesia yang mu’adalah dengan standar Al-Azhar.
10) Khusus bagi Mahasiswa non Beasiswa, diberlakukan ketentuan memiliki Financial Statement sebagai bukti kemampuan finansial.



2. Masa Menjalani Studi:



* ORIENTASI DAN BIMBINGAN



1. PPMI dan KBRI Kairo merumuskan pola kerjasama dalam hal pelayanan, penyelenggaraan dan pendanaan kegiatan yang mendukung peningkatan kualitas dan prestasi mahasiswa.
2. KBRI dan PPMI mengadakan semacam KRS (Kartu Rencana Studi) agar mahasiswa baru memiliki peta rencana yang jelas selama masa studi nantinya, serta agar lebih mudah dalam mengontrol dan mengevaluasi perkembangan dan kesuksesan mahasiswa.
3. PPMI dan KBRI memfasilitasi layanan mentoring dan konsultasi untuk membantu mahasiswa dalam mengenal lingkungan, menjalani proses belajar dan teknik menjawb soal ujian, sekaligus mengawal orientasi akademik mahasiswa (dengan memanfaatkan SDM S2 sebagai tenaga pembimbing/mentor)
4. KBRI Kairo, PPMI dan seluruh organisasi Masisir bekerjasama melaksanakan pelatihan maupun kegiatan demi meningkatkan kemampuan manajemen diri dan waktu serta membangun motivasi diri (sekaligus untuk menghilangkan budaya santai yang tidak produktif dan meningkatkan motivasi untuk menjadi yang terbaik).
5. KBRI Kairo, PPMI dan organisasi-organisa si Masisir lainnya mengoptimalkan peningkatan keterampilan mahasiswa, yang meliputi public speaking, komunikasi massa, manajemen organisasi, sifat kepemimpinan, advokasi, menulis karya ilmiah/karya fiksi, dan sebagainya.
6. PPMI, tokoh masyarakat dan mahasiswa, serta seluruh elemen Masisir menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama dan saling menasehati dalam hal menjaga citra positif dan integritas moral dan tanggungjawab spiritual Masisir.
7. KBRI Kairo, Al Azhar dan PPMI menyelenggarakan orientasi bagi mahasiswa baru yang sudah tiba di Mesir.
8. PPMI dan seluruh organisasi di lingkungan Masisir menggiatkan program hafalan Al-Qur’an secara reguler dan intensif.
9. Seluruh elemen Masisir membudayakan penggunaan Bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi lisan maupun tulisan dalam berbagai kegiatan untuk meningkatkan kualitas kemampuan berbahasa Arab.
10. PPMI dan seluruh komponen Masisir memberikan dukungan terhadap pengembangan dan peningkatan kuantitas maupun kualitas kelompok bimbingan belajar (misalnya dengan menerapkan sistem Quantum Learning), kelompok kajian/studi, lembaga karya/kreativitas, penerbitan karya tulis intelektual- akademik, dsb.
11. KBRI Kairo dan PPMI bekerjasama dengan pihak lain untuk memfasilitasi terselenggaranya kegiatan rutin yang memberikan wawasan kebangsaan, keislaman dan keagamaan, internasional, keilmuan, dan lain-lain.
12. KBRI Kairo bekerja sama dengan PPMI mengupayakan database yang valid tentang jumlah dan perkembangan studi mahasiswa setiap tahun berdasarkan laporan pendidikan yang didukung oleh data Fakultas terkait di Al Azhar (detail database tidak dibuka untuk publik, tapi cukup dipegang oleh pihak-pihak resmi yang berkepentingan) .
13. Seluruh elemen Masisir menumbuhkan rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan serta senasib sepenanggungan di antara kelompok mahasiswa melalui kerjasama atau penyelenggaraan bersama sebuah kegiatan terpadu.
14. KBRI Kairo, PPMI dan seluruh komponen mahasiswa Indonesia di Mesir menempuh langkah-langkah yang dapat menjadi solusi efektif bagi kasus-kasus kegagalan studi, misalnya dengan:


ü Kursus Bahasa Arab dan kursus materi dasar perkuliahan
ü Memberi motivasi mental dan spiritual
ü Memberi informasi dan alternatif untuk melanjutkan studi di tempat lain
ü Memberikan pertimbangan dan saran bahwa solusi terbaik adalah kembali ke tanah air


* SISTEM DAN KEBIJAKAN PENDUKUNG



1. Seluruh Masisir meningkatkan hubungan dengan instansi dan tenaga pengajar serta perangkat administrasi di kampus, sehingga mempermudah dan memperlancar proses perkuliahan.
2. KBRI memonitor jalannya mentoring/bimbingan mahasiswa, dan memberikan penghargaan & fasilitas tambahan bagi par pembimbing sebagai motivasi peningkatan bimbingan.
3. KBRI Kairo dan PPMI memfasilitasi proses pembentukan dan perumusan mekanisme kerja sebuah pusat penelitian dan pengembangan intelektual mahasiswa untuk memudahkan mahasiswa mengetahui kualifikasi keilmiannya, serta membekali dan melatih mahasiswa agar memiliki keterampilan intelektual yang mumpuni sekaligus seorang peneliti handal terutama dalam bidang sosial keagamaan (pebentukan lembaga ini melibatkan pihak-pihak yang berkompeten seperti Al-Muntada, ICMI, dan SENAT, serta dosen-dosen di kampus).
4. KBRI Kairo dan PPMI menyampaikan laporan berkala perkembangan studi mahasiswa kepada orang tua mahasiswa dan atau stakeholders terkait minimal satu tahun sekali.
5. PPMI dan seluruh komponen organisasi tidak melakukan kegiatan pada masa aktif kuliah. (monitoring)
6. KBRI Kairo dan PPMI memberikan informasi dan penyuluhan kesehatan serta mengupayakan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa.
7. KBRI Kairo, PPMI dan seluruh komponen Masisir mencanangkan sebuah program "Back to Campus" atau program yang membangun motivasi untuk aktif menghadiri perkuliahan. Hal ini dapat dilakukan melalui penyebaran informasi secara berkala melalui berbagai sarana tentang himbauan hadir kuliah, perkembangan proses perkuliahan meliputi jadwal kuliah, diktat maupun ringkasan diktat, pengurusan administrasi, kuliah tambahan, pengaturan jadwal kegiatan, dan sebagainya.
8. KBRI Kairo, PPMI, dan Organisasi Kekeluargaan melakukan koordinasi dan bekerjasama dalam merumuskan pola terbaik untuk optimalisasi fungsi rumah daerah sebagai sarana pembinaan demi meningkatkan kapasitas keilmuan dan keterampilan mahasiswa.
9. KBRI Kairo berkoordinasi dengan pihak Al-Azhar dalam persoalan kebijakan-kebijakan Al-Azhar yang memerlukan peninjauan ulang, seperi sistem gugur di jenjang kelas S2.
10. KBRI membuka peluang beasiswa ke universitas- universitas selain Al-Azhar (semisal Cairo University, Liga Arab, Ain Syams dll), terutama untuk jenjang pasca sarjana.
11. PPMI menata ulang pengaturan aktivitas organisasi di Mesir serta meninjau kembali sistem organisasi PPMI saat ini yang masih berbentuk pemerintahan (SGS), dan bukan organisasi pengkaderan, karena sistem yang selama ini cukup mengurangi fokus dan konsentrasi studi.
12. Mempertimbangkan perlunya pendirian lembaga khusus di DEPAG/DIKNAS yang menangani, membantu, dan mengontrol, mahasiswa Timur Tengah (selama mas studi) dengan fasilitas dana khusus untuk itu, dengan syarat penambahan lembaga tersebut tidak semakin menambah birokrasi.



* FASILITAS FISIK DAN NON FISIK



1. KBRI memfasilitasi menyediaan beasiswa prestasi bagi mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi, sesuai dengan nilai akademiknya di kampus, kecepatannya menyelesikan studi, dan tingkat kontribusinya dalam pembinaan yunior.
2. KBRI Kairo, PPMI, dan PMIK mendorong pemanfaatan perpustakaan Al-Azhar, dan menambah kuantitas literatur-literatur dan referensi akademik di Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (PMIK).
3. DPR RI, Depag RI, Depdiknas, dan Pemda-Pemda di seluruh Indonesia membuka peluang pengadaan dana tunjangan studi Masisir dari APBN dan APBD dengan pertanggungjawaban yang jelas dan transparan (sesuai dengan besarnya kuantitas mahasiswa di Mesir)
4. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengupayakan kontribusi nyata khususnya terhadap Al-Azhar berupa pembangunan asrama mahasiswa yang dapat menampung lebih banyak mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Universitas Al-Azhar (dengan menerapkan sistem seleksi penghuni berdasarkan prestasi). Asrama tersebut sepenuhnya akan berada dalam pengelolaan dan pengawasan Al-Azhar. Dengan adanya asrama yang memadai ini, diharapkan dapat membantu kesuksesan studi Masisir.



2. Masa Pasca Studi:


1) Para Sarjana Al-Azhar dan Perguruan tinggi lainnya di Mesir membentuk Himpunan Alumni sebagai wadah silaturahim nasional, serta sebagai jalur akses memperluas jaringan kerja bagi para alumni perguruan tinggi Mesir di Indonesia.
2) Lembaga Pemerintah, PPMI Mesir, dan Ikatan Alumni membangun network yang luas dan efektif sehingga para alumni Mesir mudah mendapatkan akses untuk mewujudkan pengabdian.
3) Lembaga Pemerintah, Alumni serta pemangku kepentingan (stake holders) menyediakan kebutuhan informasi studi lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi sebanyak-banyaknya terutama lembaga studi yang menawarkan beasiswa. Mahasiswa/alumni didorong untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan informasi yang tersedia, baik melalui informasi elektronik maupun media lainnya dan diharapkan aktif dalam membangun link khususnya melalui website PPMI Mesir.
4) KBRI Kairo dan PPMI serta stake holders lainnya menetapkan langkah-langkah yang mendorong dan memotivasi para sarjana untuk aktif menulis karya tulis dan mempublikasikannya dalam berbagai media.
5) KBRI Kairo dan Kedutaan Besar Mesir di Jakarta membentuk Lembaga Persahabatan Indonesia Mesir untuk membantu pelaksanaan pendidikan dan memberikan peluang-peluang bagi alumni.
6) KBRI dan PPMI mengadakan orientasi calon alumni Mesir tentang peluang kerja dan pengabdian serta kiat-kiat untuk mencapainya
7) Lembaga Pemerintah dan PPMI Mesir mengupayakan adanya bimbingan kewirausahaan dan memberikan peluang untuk para sarjana mengabdikan diri dalam berbagai bidang dan lapangan pekerjaan di tengah-tengan masyarakat.
8) Depdiknas dan Depag bersama DPR RI menyediakan anggaran untuk penyelenggaraan on arrival training melalui program pengembangan profesi bagi alumni yang baru pulang dari Mesir dalam berbagai bidang profesi.


E. RENCANA TINDAK LANJUT

Untuk menindaklanjuti butir-butir kesepakatan tersebut, para peserta Lokakarya telah bersepakat tentang perlunya pertemuan dan pembicaraan lanjutan di antara beberapa stakeholder terkait untuk merumuskan langkah teknis dan operasional dalam rangka mengimplementasikan hasil-hasil kesepakatan dalam Lokakarya ini. Rencana tindak lanjut ini berada di bawah koordinasi KBRI Kairo dengan melibatkan stakeholders terkait.

F. PENUTUP

Demikianlah laporan hasil Lokakarya Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir disusun untuk dijadikan acuan oleh para stakeholder dalam mengambil kebijakan dan melaksanakan langkah-langkah tindaklanjut.

Cairo, 13 April 2008

*sumber: milis PMIK

Read More..

Wednesday, April 2, 2008

Bali Road Map

Berikut poin-poin Bali Road Map, seperti disampaikan juru bicara the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) John Hay dalam pernyataan tertulis hari Sabtu (15/12/2007).

Adaptasi

Negara peserta konferensi sepakat membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang, yang ditanggung melalui clean development mechanism (CDM) yang ditetapkan Protokol Kyoto. Proyek ini dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF).

Kesepakatan ini memastikan dana adaptasi akan operasional pada tahap awal periode komitmen pertama Protokol Kyoto (2008-2012). Dananya sekitar 37 juta euro. Mengingat jumlah proyek CDM, angka ini akan bertambah mencapai sekitar US$ 80-300 juta dalam periode 2008-2012.

Namun negara-negara peserta belum sepakat mengenai pelaksanaan praktis adaptasi, misalnya bagaimana cara menyatukan dalam kebijakan nasional. Isu ini diagendakan untuk dibahas di pertemuan selanjutnya yang disebut Badan Tambahan untuk Saran Ilmiah dan Teknis di Bonn (Jerman) pada tahun 2008.

Teknologi

Peserta konferensi sepakat untuk memulai program strategis untuk alih teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Tujuan program ini adalah memberikan contoh proyek yang konkret, menciptakan lingkungan investasi yang menarik, termasuk memberikan insentif untuk sektor swasta untuk melakukan alih teknologi. GEF akan menyusun program ini bersama dengan lembaga keuangan internasional dan perwakilan-perwakilan dari sektor keuangan swasta.

Peserta juga sepakat memperpanjang mandat Grup Ahli Alih Teknologi selama 5 tahun. Grup ini diminta memberikan perhatian khusus pada kesenjangan dan hambatan pada penggunaan dan pengaksesan lembaga-lembaga keuangan.

REDD

Reducing emissions from deforestation in developing countries (REDD) merupakan isu utama di Bali. Para peserta UNCCC sepakat untuk mengadopsi program dengan menurunkan pada tahapan metodologi.

REDD akan fokus pada penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai komponen penting dalam perubahan iklim sampai 2012.

IPCC

Peserta sepakat untuk mengakui Laporan Assessment Keempat dari the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling komprehensif dan otoritatif.

CDM

Peserta sepakat untuk menggandakan batas ukuran proyek penghutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan mengembangkan angka dan jangkauan wilayah negara CDM ke negara yang sebelumnya tak bisa ikut mekanisme ini.

Negara Miskin

Peserta sepakat memperpanjang mandat Grup Ahli Negara Miskin atau the Least Developed Countries (LDCs) Expert Group. Grup ini menyediakan saran kritis untuk negara miskin dalam menentukan kebutuhan adaptasi. UNCCC sepakat negara-negara miskin harus didukung karena kapasitas adaptasinya yang rendah. (copy dari net)

Read More..