Thursday, September 11, 2008

Apakah Makna Tahun 2009 Bagi Anda?

Apakah makna tahun 2009 bagi anda? Tambah tua? Promosi jabatan? Naik kelas? Mungkin bagi politisi negri ini, tahun depan adalah pesta kejutan. Surprise, karena mungkin saja politisi-politisi tua sudah digatikan kader-kader muda. Atau karena calon berlatar belakang militer yang terpilih menjadi pemimpin. Atau karena kaum marhaen akan menjadi mayoritas, atau partai religius akan ditinggalkan rakyatya karena terlalu dalam mengudak adonan politik.

Hampir semua lembaga pesantren didatangi para politisi. Dipandang sebagai gudang pemilih, caleg-caleg hingga capres sowan ke pesantren, meminta restu dari Kyai. Sang Kyai yang arif, menanggapi dengan santun, ramah, kadangkala melontarkan kritik dengan gaya humoris. Di pesantren, santri dan pegasuh akan menemui masalah yang kompleks ketika dihadapkan dengan politik rayu-santun yang dilakukan tamu yang sowan. Minggu pertama Kyai merestui caleg dari partai pohon lengkuas, lalu minggu berikutnya Kyai merestui caleg dari partai bintang tujuh, lalu minggu berikutnya Kyai merestui caleg dari partai kebo putih.

Di beberapa dearah, pesantren adalah basis partai tertentu. Figur Kyai sangat mempengaruhi kultur politik pesantren. Para santri tetap sebagai grass root, sehingga sami’na wa atho’na apa yang didhawuhkan Kyai. Kyai mecalonkan diri dalam pemilu, santri wajib memilih beliau. Itulah bentuk hubungan guru dan murid yang paling dasar, guru mengajar dan murid mematuhi. Saking besarnya hegemoni ‘dawuh’ Kyai ini, hingga menyentuh ranah yang paling asasi bagi tiap warga, hak bebas memilih. Santri adalah golongan warga yang menyadari betul haknya untuk memilih. Tapi sehubungan dengan itu, hak bebas memilihnya tidak dapat terealisasi. Ada kepatuhan, bahkan semacam kefanatikan terhadap Kyai. Mungkin Kyai bangga-bangga saja, dan tidak pernah berpikir sampai ke situ. Santri bukanlah itik-itik dan Kyai bukanlah penggembalanya. Tiap orang berhak menentukan hidupnya sendiri. tiap orang dilahirkan merdeka, tanpa beban, tanpa kekangan apapun.

Pembelajaran demokrasi di negri ini kian tidak menentu. Perspektif pemilu yang demokratis telah berubah. Parpol yang tiap tahun jumlahnya bertambah itu mengabaikan kepentingan rakyat. Mulai dari mengangkat tokoh nasional, aksi pendekata kepada wong cilik di pedalaman dan pinggiran, kritis terhadap pemerintah, pendekatan kaum intelektual dengan berdialog, hingga beriklan di televisi, tak lain hanyalah usaha meracuni rakyat. Beberapa parpol memasang tokoh-tokoh nasional muda, artis, konglomerat sukses, pejabat yang bersih, hingga anak ketua parpol untuk dijadikan caleg, yang diharapkan pedulang suara terbanyak.

Masyarakat menginginkan wakil rakyat yang jujur dan berpihak pada rakyat. Rakyat tidak perduli dengan kerugian trilyunan rupiah yang dialami Pertamina, yang diinginkan rakyat adalah BBM Migas yang terjangkau dan stok yang melimpah tiap hari. Yang diinginkan rakyat adalah wakil mereka yang mampu menyuarakan aspirasi mereka dan berjuang untuk merealisasikannya, bukan wakil yang populer hanya karena skandal gelap atau pungli uang negara, uang seluruh rakyat Indonesia.

Sayangnya, parpol hanya berkonsentrasi pada perolehan suara saja. Parpol berkampanye berharap rakyat mau memilih partaiya. Berharap mendulang suara sebanyak-banyaknya. Masalah lumpur Lapindo, kecelakaan berbagai maskapai penerbangan, banjir Ibukota, kenaikan BBM Migas, krisis energi, penyalahgunaan uang negara tidak diselesaikan, atau ditangguhkan penyelesaiannya setelah pemilu raya.

Aku sebagai bagian dari wong cilik hanya gumun, heran dengan pemilu ini. Hingga bosan melihat liputan Pilkada, parpol, calon presiden, dan semua tokoh-tokoh yang berego politik yang tinggi di Metro TV, yang bangga dengan program election channel itu. Pilkada Jateng dan Jatim kukira bisa jadi pertimbangan pemerintah untuk menyelenggarakan berbagai ‘pemilihan’ di penjuru Nusantara ini. Berapa juta peduduk yang golput, yang tidak nyoblos? Berapa uang yang dihabiskan parpol dan calon pemimpin untuk berkampanye? Berapa uang yang mubazir sebab hal itu? Apakah uang ratusan milyar yang terbuang itu tidak sanggup untuk biaya sekolah gratis bagi seluruh pelajar? Apakah uang segitu banyak kurang untuk mensubsidi BBM? Jangan heran rakyat bosan dengan ‘pemilihan’ ini, bosan dengan iklan-iklan parpol, bosan mendengarkan khotbah kampaye, bosan dengan nomor urut dan lambang parpol, bosan dengan janji-janji calon pemimpin, yang akhirnya bosan dengan pemerintah kita sendiri.

Buat seng mbahurekso negri ini, biarkanlah rakyat kali ini yang berbicara, dengan gaya rakyat yang lugas dan jujur, yang tidak perduli dengan intervensi negara lain. Biarkanlah rakyat menilai wakil dan pemimpinnya! Biarkanlah rakyat berdemokrasi! Biarkanlah rakyat berkuasa!

Read More..

Kyai Oknum

Ini tentang kisah seorang Kyai Kampung, yang rumahnya ada di tengah-tengah kebun. Sebut saja namanya Kyai Fulan. Dalam sebuah dusun di pinggiran kota yang masyarakatnya kering dari hal-hal religius, Kyai Fulan dari dusun sebelah adalah ‘Sang Pamomong’ bagi daerah ini. Kyai mempunyai 7 anak, tiga laki-laki dan empat perempuan. Empat dari tujuh anaknya disekolahkan di pesantren. Ada yang di Purworejo, ada juga yang di Lirboyo, Kediri. Bagi Kyai, pendidikan agama adalah hal primer. Ndak bisa ditawar lagi. Kyai memang benar-bear berharap anak-anaknya bisa menjadi penerus agama, biar menjadi Kyai dan Nyai, pikirnya.

Keunikan Kyai ini, sering mengadakan mujahadah dan doa-doa bersama. Entah itu khusus jamaahnya saja taukah juga diperuntukkan warga seklitar. Doa lancar rejeki, kemudahan urusan dunia, jalbul bala’, keselamatan diri, dan berbagai doa ampuh lainnya. Makanya, ada yang mengatakan Kyai Fulan itu ‘Wali’. Tetapi dalam tulisan ini, akan kita lihat, bagaimana ‘kewaliannya’ ini bisa lenyap dari dirinya, atau yang aku katakan, ‘sikap seakan-akan Wali’. Terserah ada yang berkata ini termasuk ghibah, tapi aku haya menulis berdasarkan fakta, dengan bahasaku sendiri, yang mungkin akan mambuat Anda berkomentar, ealah…

Pertama, aku ragu apakah Kyai ini dahulu lama mengaji di pondok pesantren. Masalahnya, Kyai tidak begitu fasih membaca lafal-lafal dalam bahasa arab, misalnya dalam doa dan surat al-Quran, sehingga maknanya juga berubah. Seperti huruf alif (hamzah) dibaca ‘ain, sin dibaca syin, dan kaidah tajwid yang amburadul. Bahkan dalam beberapa doa, seringkali kesalahan berulang-ulang dilakukan. Cotoh nyata, yang seharusnya mengucap ila ruhi (single), beliau malah membaca ila arwahi (plural) dalam doa tahlil. Padahal yang didoakan hanya satu orang, wong sebelumnya sudah diberi khususon ila.

Tingkah lain yang lebih menyesakkan dada, Kyai ini sudah berkali-kali menyalahgunakan uang umat, atau yang disebut mahasiswa ‘korupsi’. Sudah beberapa kali umat kecele, atau merasa dibohongi oleh Kyai ini, atau Bu Nyainya. Berpuluh-puluh jamaah pengajiannya suatu sore berkumpul di masjid dusun, bersiap-siap ziarah wali sembilan. Hingga petang, bis yang ditunggu tak kunjung datang. Begitu juga Kyai, tidak nampak batang hidungnya. Salah seorang jamaah mendatangi rumah Kyai. Senyap, tak berpenghuni. Kyai telah raib bersama jutaan rupiah uang jamaah yang sudah mendaftar ziarah wali sembilan.

Waktu bulan suci Ramadhan, masjid dusun selalu mengadakan semaan al-Quran tiap malam ba’da tarawih. Dua juz tiap kali semaan. Nah, Kyai ini paham betul ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat, maghfiroh dan ‘itqun minan nar. Jadi beliau thowaf ke rumah se-RT minta shodaqoh untuk akomodasi semaan. Usaha punglinya itu beromzet 400 ribu. Dari uang itu, dibagikan lagi ke tiap rumah 10 ribu untuk diminta dibelikan makanan plus rokok. Mana cukup 10 ribu? Makanya, tiap rumah yang kena jatah itu mau ndak mau kudu nomboki. Nah, kok yang dialokasikan Cuma 10 ribu? Trus yang lain mana? Yang 100 ribu ya masuk sarung Kyai.
Kasus lainnya, saat yayasan masjid dusun bekerja sama dengan NU cabang Kota menyelenggarakan acara maulid Nabi, Bu Nyai ternyata ‘ngutil’ proposal permohonan dana dari panitia, saat panitia sedang bepergian ke luar kota. Yang jadi masalah bukan ngutil proposalnya itu, tapi proposalnya digunakan Bu Nyai secara efektif ke beberapa warga, termasuk salah satu restoran terkenal dan sebuah perusahaan bus antar kota yang masih satu RW. Uang yang didapat ternyata tidak masuk kas panitia, tapi masuk perut Nyai dan Kyai sendiri. Hmm, gimana? Ada lagi hal yang ngisin-isini, Kyai Fulan ini ternyata gemar ‘pungli’ ke warga. Yaitu ke perusahaan bus antar kota tersebut, ke Pak Haji yang mempunyai tempat indekost tiap hari, dan ke warga yang lain. Kata ibuku, ngemis.

Ternyata pungli-pungli ini dilakukan Kyai dan Nyai untuk hal yang paling mendasar dalam hidup, makan. Karena orang kalau kelaparan bisa mati, maka pungli ini hukumnyapu ‘terpaksa’. Keluarga Kyai yang tidak ikut KB ini tidak memiliki mata pencaharian yang bisa diandalkan. Pantas saja tidak ikut KB, karena memang keluarga ini tidak berencana. Tidak merencanakan hidup di dunia, apalagi akhirat. Kebun buat berladag saja tidak punya. Andaikan punya, aku yakin haqqul yaqin, Kyai tetap tidak mau menggarap. Mau bagaimana lagi, wong Kyai ini ndak punya etos kerja kok. Beliau itu beretos ngemis, kata ibuku. Ndak mau berusaha, tapi maunya dihargai warga. Yang seperti ini, malah ngisin-isini kaum Kyai. Mana ada Kyai yang ndak bisa menghidupi dirinya sendiri mau memimpin umat menuju kebahagiaan yang abadi?

Aku menyebut pasutri ini ‘oknum agen spiritual’, bukan Kyai. Bagaimana komentar Anda? Semoga masyarakat kita lebih dewasa dalam bermuamalah dalam masyarakat yang kompleks.

Read More..

Rahasia Hati

Ini bukan main-main. Masalah serius, tentang hati, tentang cinta. Aku mulai membuka cakrawala perasaan-sosial-alamiah yang ada pada tiap manusia. Akhirnya aku berkesimpulan: tiap orang berhak mencintai. Inilah manifesto perasaan yang tak bisa dipungkiri.
Cinta bagiku bukanlah seperti Romeo dan Juliet, Laila dan Majnun, atau Rama dan Sinta. Setidaknya tidak sampai detik ini. Bagi mereka yang sudah menemukan kekasih hati, selamat atas kalian dan bersuka-citalah. Sebab pasangan hiduplah yang dinantikan tiap jejaka dan perawan.

Hidup terlalu sulit untuk diuraikan. Semakin intens bertemu dan bersosial dengan orang lain, masalah semakin rumit. Hidup itu sendiri adalah kesusahan, kepayahan. Aku geleng-geleng kepala saja menyaksikan pejabat dan birokrasi mempursulit hidup orang lain. Seakan-akan mereka tidak membutuhkan orang lain, dan cinta mereka hanya tertumpah pada uang.
Kembali ke tema cinta. Aku tak tahu apalagi yang harus kuucapkan, mendengar kata itu kau ulangi lagi untuk ke sekian kali. Walau kau menghindari kata cinta, tapi aku tahu itu yang kau maksud, sebab aku telah mengenalmu sekian lama. Dan kini kau telah menjadi milik orang lain, menjadi miliknya. Kau mengucapkan itu saat kau bersamanya, padahal kau tahu mustahil bagi kita untuk dapat berbuat lebih. Dan dia sebagai pemilik sah dirimu, mempunyai hak kepemilikan apapun, kecuali cintamu. Dan aku yang berdiri di luar lingkaran kehidupan kalian, tidak berhak menerima cintamu, sedang kau bersamanya. Biarlah lelaki itu yan mendambamu di setiap malam, mencintamu dengan jiwa raganya, dengan segenap harta dan kemampuan yang dimiliknya. Terlalu besar dosa yang kutanggung jika aku harus merusak senyuman kebahagiaan itu. Aku tidak mau mengulangi kebodohan yang telah aku sadari.

Akhirnya, aku berhenti pada suatu realita: walaupun perasaan dapat dimanipulasi, tetapi cinta selalu jujur.

Read More..