Wednesday, April 11, 2007

Emansipasi Wanita, Sebuah Upaya Kaum Feminis Mencari Kedudukan

Diantara berjuta-juta pahlawan Indonesia, pastinya kita mengenal tokoh yang satu ini, karena ia memang istimewa. Sosok yang sama sekali tidak maskulin, berjuang demi kemajuan kaum hawa, dan meninggal jauh sebelum Indonesia merdeka. RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita, yang tiap tanggal 21 April kita peringati sebagai hari lahirnya. Kisah hidupnya sarat dengan perjuangan guna mencapai suatu bangsa yang cerdas, bebas, menjunjung tinggi hak-hak manusia dan berbudi luhur. Siapa yang menyangka, wanita yang sejak kecil dipingit oleh kedua orangtuanya menjadi pahlawan emansipasi wanita di bumi nusantara. Disebabkan oleh penderitaan yang dialami kaum hawa zaman penjajahan, maka hati feminis muda ini tergerak untuk memajukan kaum wanita. Terlepas dari kedudukannya sebagai istri keempat Bupati Rembang kala itu, RTAA Djojohadiningrat, Kartini mendirikan sekolah wanita di Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Madiun, dan Cirebon. Ini adalah sekolah formal khusus wanita yang pertama di Indonesia, selain pesantren tentunya.

Namun cita-citanya hanya terhenti begitu saja. Bahkan, ia tidak sanggup membebaskan dirinya sendiri dan keluarga. Ibunya, Ngasirah, menjadi istri keempat ayahnya. Sejak kecil dipingit, sudah besar dipoligami bangsawan, menjadi istri keempat. Hal ini menjadi tekanan yang rutin menghimpit batinnya. Tekanan batin yang tidak bisa ia singkirkan itu, tergambar lewat surat-suratnya kepada Ny. Abendanon menjelang pesta pernikahannya. 19 Oktober 1903 ia menulis, "Pakaian pesta bertopeng saya sudah jadi. Roekmini menyebutnya kain kafan saya...." 22 Oktober 1903, ia menulis lagi, "Ada luka yang tidak pernah sembuh, ada air mata yang tidak pernah kering...." 3 November 1903 lebih eksplisit lagi: "... Hari depan itu tidak pernah saya harapkan...."

Emansipasi Wanita dalam Perjuangan
Dalam dunia Islam modern pun, kita bisa menemukan bermunculan para feminis yang memperjuangkan kedudukan wanita dalam kehidupan dan beragama. Dalam kamus Bahasa Inggris “Emansipation” berarti membebaskan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Emansipasi” adalah pembebasan dari perbudakan; persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sementara makna leksikal dari emansipasi wanita sendiri adalah proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju.

Sejarah memang membuktikan, superioritas laki laki di atas perempuan dalam segala hal. Tapi tak bisa dipungkiri, persepsi dominan yang menyatakan bahwa perempuan inferior dan laki-laki superior atau dengan kata lain bahwa perempuan tidak berdaya dan laki-laki adi daya masih menjadi sebuah perdebatan yang kadang-kadang hanya berupa debat kusir di antara kaum berlainan jenis itu pada zaman globalisasi ini. Inferior dan superior menjadi momok sehingga membuat penyandang persepsi tersebut (tidak hanya wanita) cenderung sensitif. Ironisnya, yang satu ingin mengalahkan yang lain, yang lain tak mau dikalahkan. Emansipasi menjadi bermakna sebagai suatu persaingan – kalau kurang pantas disebut sebagai dendam berkepanjangan. Ada ketimpangan dalam catatan perkembangan emansipasi dewasa ini. Mengapa dalam semua lini kehidupan, laki laki harus dijadikan patokan? Mengapa wanita ingin melampaui tolok ukur tersebut? Bukankah wanita mempunyai tolok ukur sendiri?


Banyak hal yang dulu telah mapan berabad-abad lamanya mulai digugat sehubungan dengan peranan wanita. Tidak hanya dapur, tempat tidur dan mengurusi anak, tetapi problematika pekerjaan, pendidikan, dan kedudukan (kepemimpinan) mulai direbut (kembali) demi kesetaraan gender. Masalah masalah yang fundamental sekalipun didobrak demi menyadarkan kaum wanita betapa berharganya emansipasi itu, dan perjuangan menuju ke sana masih sangat panjang.


Fatima Mernissi, feminis asal Fez, Maroko memperjuangkan karakter kepemimpinan wanita dalam ranah negara dan keagamaan, mempermasalahkan pembagian waris yang adil, dan juga meninjau kembali masalah hijab. Ia sangat menyayangkan, betapa agama sangat elastis hingga dapat dimanipulasi orang yang berkepentingan, hingga wanita menjadi kaum minoritas dan ditindas. Dan ia yakin, bahwa kesuperioritasan laki-laki hanyalah rekayasa yang dibuat-buat, dan bukan asli datang dari ajaran agama. Amina Wadud, feminis Afro-Amerika yang juga professor di Virgina Commonwealth University menggebrak agama dengan menjadi Imam sholat jumat di sebuah gereja. Otomatis, is menuai protes dan kritik bahkan fatwa-fatwa yang menyudutkan dirinya dan usaha yang ia lakukan. Dr Yusuf Qardhawi mengecam Amina telah menyimpang dari tradisi Islam yang telah berjalan 14 abad. Sementara Abdul Aziz al-Shaikh, Mufti Agung Arab Saudi, menganggapnya sebagai “musuh Islam yang menentang hukum Tuhan”. Beberapa koran di Mesir dan Arab Saudi menempatkan berita itu di halaman utama, dan menganggap Amina sebagai “wanita sakit jiwa” yang berkolaborasi dengan Barat kafir untuk menghancurkan Islam. Bahkan, mereka (para jamaah solat itu) perlu mendapatkan penjagaan khusus, karena mendapat ancaman dari fundamentalis muslim.


Sejarah membuktikan, pada fase kenabian dan khulafa ar-rasyidin, aturan-aturan agama Islam relatif bersifat membebaskan ketimbang mengekang. Tradisi arab sebelum Islam dalam bidang sosial budaya masih membekas sangat kuat dalam hati masyarakat arab, sekalipun Islam kemudian membawa pesan-pesan pembebasan. Sangat logis, kalau ajaran Islam kesulitan mencabut akar budaya yang menghegemoni masyarakatnya. Konon, diantara sahabat Nabi pun ada yang mengekang istrinya. Contohnya, Nabi Muhammad berulang kali mengingatkan kaum muslim untuk tidak menghalang-halangi kaum perempuan untuk ikut sholat jamaah di masjid. Tapi tak sepenuhnya ajakan Nabi mendapatkan sambutan positif dari sahabat-sahabatnya. Bahkan Umar bin Khattab dan Zubair bin Awwam melarang istri mereka pergi ke masjid, walaupun secara halus dan tidak terang-terangan. Hukum Islam setelah wafatnya Nabi tidak hanya dipengaruhi semangat Islam yang berwatak membebaskan dan memudahkan, tapi juga sangat dipengaruhi kondisi sosial politik dan budaya yang berkembang ketika itu. Gamal al-Banna mengasumsikan, setelah fase khulafa ar-rasyidin, muncul dua kekuatan yang sangat hegemonik atau mengatur semua lini kehidupan masyarakat Islam. Kekuatan pertama adalah kekuasaan raja yang otoriter, dan yang kedua adalah kekuatan para ahli fiqh yang memiliki otoritas dalam menentukan hitam-putihnya penafsiran dan pemahaman keagamaan.


Dalam ranah kenegaraan, kita tilik negara adi daya, Amerika. Amerika dengan sistem demokrasinya, baru pada tahun 1920 memasukkan hak pilih wanita dalam pemilihan umum. Ini artinya, dari tahun 1789 saat terpilihnya George Washington menjadi presiden pertama hingga Woodrow Wilson, pemilu presiden Amerika tidak menyertakan wanita sebagai pemegang hak yang sah untuk memilih. Bahkan pemilu pertama ini hanya 6% saja dari penduduk Amerika yang memilih Washington, karena yang berhak memilih hanyalah golongan laki-laki putih beragama Protestan yang memiliki harta saja. Dan wanita, orang miskin, pembantu, orang Katolik, Yahudi, budak Afrika dan orang Indian tidak memiliki hak vote sama sekali. Setelah Wilson lumpuh akibat stroke, Warren G Harding maju dalam pemilu, dan ia memenangkannya. Tahun ini dicatat sebagai kemengangan total kaum feminis Amerika, sejak kebangkitan wanita tahun 1820-an. Berturut-turut wanita Amerika meloloskan tuntutan persamaan wanita dan pria di mata hukum, mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan, memperoleh hak atas properti pribadi, dan mendapat hak dalam pemilihan umum.


Di negara bhinneka tunggal ika, cita-cita Kartini sungguh belum terealisasikan. Wanita tetap saja berurusan dengan anak, dapur, dan suami. Memang dominasi pria masih begitu kentara dalam pendidikan, pekerjaan, keagamaan, dan pemerintahan. Dari 51% penduduk Indonesia yang berjenis kelamin perempuan (menurut sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik tahun 2000), berapakah wakil perempuan yang berkantor di Senayan? Dari sekian banyaknya parpol Islam, paling banter jumlahnya hanya 11% dari semua anggota parlemen yang berasal dari parpol Islam.

Sementara itu, di ‘negara’ KSW sendiri, kaum perempuan hanya diwakili oleh 6 orang pengurus keputrian dan 2 orang MPA (satu anggota dan satu ketua MPA). Sudahkah jumlah ini mencerminkan aspirasi kaum wanita?style="color:#ff0000;">Tulisan ini pernah dipublikasikan di buletin Prestasi KSW edisi April 2007

No comments: