Saturday, February 28, 2009

Musyawarah Abadi

Penulis: Khaled M Abou el Fadl
Judul: Musyawarah Buku; Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab.
Judul asli: Conference of The Book, The Search Beauty in Islam.
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.
Tebal: 223 halaman.
Cetakan: I September 2002

Buku bagi Khaled M Abou el Fadl adalah gerbang bagi segalanya, walaupun buku bukanlah segalanya. Dengan ilmu, informasi, pengetahuan, pemgalaman, dan mimpi-mimpi yang tersurat di tiap helai lembaran, bukan tidak mustahil, keinginan kita menjadi lebih mudah diraih.

Buku ini adalah kumpulan esei menarik yang patut dibaca. Bagaimana penulis haus ilmu, walaupun di sendiri sebenarnya adalah penulis berkaliber jumbo. Penulis menggugah pembaca tentang dunia buku, hal yang selama ini menjadi barang antik. Alih-alih gerah akan ketidakseimbangan yang ada dalam hidup dan intelekutualitas, pemulis membeberkan pelbagai wacana yang selama ini ia anggap pasif. Dia mengharap agar manusia dan intelektualitasnya, dapat berjalan progresif agar menjadi manfaat bagi kehidupan seluruh manusia dan peradabannya, bukan hanya menjadi kenikmatan bagi sebagian orang, dan kesialan bagi yang tertindas.

Tidak selamanya intelek dan cendekiawan dihormati dan disanjung semua orang, terlebih penguasa. Ada hubungan menarik antara kaum intelek-penguasa-rakyat. Pendek kata, penguasa adalah kepanjangan tangan taqdir Tuhan, rakyat menjadi objek penguasa, sedangkan kaum intelek hanyalah wasilah. Kaum intelektual yang seharusanya dapat menggunakan otak, pikiran dan pendapat mereaka dengan independen menjadi sulit dicapai. Sebab penguasa terus menekan mereka, menghilangkan fungsi kaum intelek sebagai pengawas dan oposisi, demi kelanggengan kekuasaan.

Maka dengan semena-mena penguasa menggencet dan menyiksa ulama. Khalid Abou el-Fadl menyebutkan beberapa kisah tragis yang dialami ulama kita.

Abu Hanifah dipenjarakan dan disiksa, sebelum pada akhirnya meninggal di dalam sel. Ahmad bin Hanbal dipenjara karena bertentangan dengan Mu'tazilah, mazhab resmi khalifah saat itu. Ibn Taymiyyah dipenjara di Kaio dan Akexandria, sebab mengkritik perilaku menyimpang sufisme yang sedang booming zaman itu. Malik bin Anas yang Muwattha'nya akan dijadikan kitab hukum resmi oleh khalifah, beliau malah menentangnya sendiri. Dan akhirnya beliau didera, sebab mendukung pemberontakan 'Alid. Abu Hayyan al-Tauhidi yang dituduh bidah dan meninggal dalam kemelaratan, membakar perpustakaan dan buku-bukunya sendiri, karena sakit hati. Dia tidak percaya dan merasa orang-orang tidak patut membaca tulisan-tulisannya. Untung saja, beberapa karyanya masih sempat diselamatkan murid-muridnya, dan kita beruntung dapat mengkajinya.

Jujur saja, aku sempat membayangkan betapa nyiyir menjadi diriku sendiri, yang telah hidup lebih dua puluh tahun, sedangkan tidak berbuat kebajikan bagi banyak orang dan tidak menghasilkan apapun. Sulit bagiku menimbang perjuangan hidup Lintang (tokoh utama Laskar Pelangi) dengan para ulama yang begitu ikhlas mengajar. Mereka berjuang demi keagungan ilmu pengetahuan, demi keeksisan manusia, demi ajaran dan nilai agama, demi kebebasan, demi hak asasi, demi kebenaran! Apa yang lebih rugi bagi umat manusia jika ulama dan ilmunya lenyap dibumihanguskan manusia sendiri?

Demikian sinopsis atau resensi ngawur yang perbah aku buat. Malam semakin larut dan hawa semakin dingin, sementara aku yang mengetik ini di depan komputer kawan dibuat pusing oleh sakit kepala yang semakin ndak keruan. Terakhir, kutipan indah dari penulis buku ini sendiri, Kholid Abou el-Fadl:

Musyawarah buku adalah wacana pelik yang indah tentang kehidupan. Wacana ini hidup di tengah-tengah keindahan refleksi dan kehormatan, dan mati di tengah-tengah kebobrokan, rasa takut, dan putus asa. Pragmatisme tidak lain adalah sebuah pengalaman, dan idealisme tak lain adalah sebuah impian. Jika kita hidup semata-mata dengan kekuatan pengalaman, kita akan menjadi tawanan keterbatasan kita, dan jika kita hidup semata-mata dengan kekuatan impian, kita menjadi tawanan angan-angan. Musyawarah ini menyalurkan pengalaman kita menjadi sebuah pernyataan bagi idaman yang lebih mulia. Pada saat rasa takut dan keputusasaan muncul, kita tidak bisa merasakan keagungan hidup dan kita tidak berani bermimpi.

No comments: