Wednesday, July 23, 2008

Kepopuleran

Gemerlap dan kemewahan yang ditayangkan layar kaca negri ini sungguh melewati ambang batasnya. Kalupun belum melewati, manajer-manajer programnya pasti berusaha melewati batasnya. Pirsawan Indonesia dipaksa menyaksikan hal yang tabu, kekayaan, kepopuleran, dan kekuasaan. Impian-impian yang didamba semua orang seakan-akan dapat diperoleh hanya dalam beberapa hari, tanpa jerih payah. Semuanya secepat mie instan. Kali ini yang jadi sasaran tembak mas Uut: kepopuleran.

Setiap malam digelar acara audisi bintang-bintang Indonesia masa depan. Konon katanya audisi digelar guna menjaring bakat-bakat seni masyarakat sejak dini, dan beberapa tahun mendatang akan menjadi superstar, dan menujukkan pada dunia, 220 juta penduduk Indonesia bukanlah pirsawan semua, banyak juga yang menjadi bintang film, penyayi, dan model iklan.

Ada audisi khusus menjaring bakat menyayi dangdut, ada juga yang menyanyikan lagu populer, ada yang khusus anak-anak, ada juga yag didampingi ibunya, ada yang khusus meyayikan lagu penyanyi yang ditentukan, ada yang berharap menjadi Indonesia next star, ada juga yang berharap menjadi idola Indonesia. Penilaian semua sama, menjaring sms dari pengemar atau fans sebanyak-bayakya degan tarif di atas rata-rata, dan di atas panggung sudah ada artis terkenal yang mengkritik, memuji, mengoreksi dan menjudge semaunya. Padahal tidak semua bisa menyanyi dengan benar, karena ada yang hanya berprofesi menjadi MC (master of ceremony), bahkan ada yang hanya menjadi bintang iklan.

Cara berpikir masyarakat yang masih mengharap hasil yang mumpuni dengan usaha seminimal mungkin, mirip dengan lagu prinsip ekonomi. Sering terdengar celetukan, zaman sekarang memang semuanya serba instan, soalnya kalau telat sedikit bisa tertinggal jauh. Lalu, apakah hasil yang lebih penting ataukah proses? Anda bisa lulus sekolah dengan nilai yang memuaskan, itu yang diharapkan semua orang: siswa, para pengajar dan orangtua. Tetapi tidak mau menjalankan proses dengan prosedur yang legal, halal, dan benar, maka ada kecurangan di sana-sini, yang penting anak saya, ataukah anak didik saya, ataukah saya sendiri harus lulus dengan nilai baik. Kalau saya berkesempatan menjadi kepala sekolah, mending siswa yang bersangkutan langsung lulus saja, tidak usah sekolah mulai dari kelas satu, dan soal tarif SPP itu urusannya bicara di kantor dengan pintu tertutup. Begitu saja toh, ndak usah repot cari uang tiap hari buat biaya sekolah anak, jadi langsung ndaftar langsung lulus, ndak perlu beli seragam buat masuk sekolah.

Teringat gladiator Yunani kuno yang bertarung dengan singa buas. Dalam pertarungan di arena yang cekung, sang pahlawan menang dengan gagah perkasa, dan sang raja hutan singa terkapar tak bernyawa. Populer? Jelas. Lalu apakah dia akan sebegitu terkenal jika tidak menang melawan singa? Tentunya ia melawan dengan sekuat tenaga, dengan latihan rutin yang berat, dengan mempelajari perilaku singa, mempersiapkan taktik, menjaga kebugaran dan kekuatan tubuh. Tak mudah memang, karena semua itu membutuhkan pengorbanan yang sungguh berat. Ini yang kusebut dengan: proses. Semua bintang iklan, bintang sinetron dan penyanyi terkenal melalui jalan panjang yang disebut proses, bukan jalan pintas yang instant.

Jadi, jika seorang kawan memperoleh nilai perfect, dan anda tahu dia hanya sedikit berkorban, dan mendapat untung, anggaplah itu bonus dari Tuhan. Penilaian dalam bilangan angka dalam kertas, hanyalah penilaian manusia atas manusia yang lain. Penilaian Ilahiah yang sebenarnya? Tuhan yang tahu, dan aku tetap berkeyakinan pengorbanan itu yang manjadi tolok ukurnya.

No comments: